“Duh, lha ini soal kok tidak
selesai dalam 3 kali pertemuan ini, bagaimana?”, kata saya di sebuah kelas.
“Lhooo…. Baru 2 kali pertemuan
lho pak.”, jawab beberapa siswa.
“Iya pak, baru 2 kali lho yaa.
Lebay nih.”, timpal siswa yang lain menambahi.
Hehe, saya hanya menjawab sanggahan-sanggahan
mereka itu dengan candaan seperti biasa, karena saya juga mengatakan soal yang dilebihkan tadi memang niatnya mencandai mereka.
Eh, sebentar. Lebay? Kalau kita
mencari kata ini dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), kata lebay ini
tidak akan kita temukan di sana. Tidak tau nanti 5 tahun lagi. Eh, atau
barangkali sekarang sudah masuk? Entahlah, saya belum tau.:) Setau saya, lebay adalah kata yang berarti berlebihan, atau dilebih-lebihkan.
Memang, penggunaan kata ini —yang
banyak digunakan oleh anak hingga usia remaja (meski yang tua ada juga sih :))—digunakan untuk menyatakan hal
negatif. Kata yang biasa digunakan bersamaan dengan ejekan atau
ketidak-setujuan, seperti pada penggunaan kalimat di atas.
Banyak orang yang pada waktu mengobrol sering melebih-lebihkan omongannya. Yang tadinya satu, jadi dua, yang tadinya dua, jadi tiga, begitu seterusnya. Bahkan yang parahnya, yang tadinya tidak ada, di-ada-adakan. Maka dalam penggunaan berlebihan yang seperti ini menjadi tidak baik. Ah, jadi ingat hadits Nabi, bahwa sesuatu yang berlebihan memang tidak baik, apa pun itu.
Tapi tunggu deh. Apa jadinya kalau para motivator tidak lebay dalam memotivasi kliennya? Apakah akan dipercaya kata-kata yang diucapkan oleh motivator itu?
Seorang motivator harus pandai dalam bercerita. Maka tak jarang sang motivator selalu mempersonifikasikan setiap apa yang menjadi bahan motivasinya agar itu lebih meyakinkan. Lantas siapa yang dijadikan contoh dalam memotivasi? Ya dirinya sendiri dan teman dekat, serta keluarganya. Karena audience akan lebih percaya jika yang ditunjukkan adalah bukti, bukan angan atau pun pengandaian.
Nah, ini juga masalahnya. Apakah benar para motivator dan para keluarga atau pun sahabatnya itu pernah mengalami setiap masalah yang ditanyakan oleh para kliennya? Ya tidak mungkin. Karena masalah setiap orang itu berbeda-beda. Allah tidak mungkin memberikan masalah yang sama pada setiap makhluknya, anak kembar sekali pun. Motivator itu pandai, pandai mengamati setiap kejadian dan masalah orang lain, yang akan dipakainya dalam memberikan nasehat ke orang lain juga agar tidak mengalami masalah yang sama.
Tak ubahnya dengan seorang sales. Ya, sales, produk apa pun. Seorang marketing kuncinya ada di kemampuan verbalnya. Bagaimana mungkin ia menjual produknya tanpa mengeluarkan suara sedikit pun? Dan, bersuara saja bahkan tidak cukup. Ia bahkan ada diklatnya. Bagaimana cara meyakinkan orang agar membeli barang/jasa yang ditawarkan. Tak jarang ia melebih-lebihkan keunggulan dari produk yang ditawarkannya, meski tak semuanya benar.
Teman saya pernah ikut training menjadi sales produk (yang katanya) kesehatan. Semacam alat pijat yang (katanya lagi) bisa menyembuhkan suatu penyakit, hanya dengan menempelkan alat tadi ke syaraf-syaraf yang tepat. Dari cerita teman saya itu, jadi para pelamar dikelompokkan, dan masing-masing kelompok dipimpin oleh seorang seniornya. Mereka yang baru training, hanya diminta mengikuti dan melihat sang senior menawarkan produknya. Di salah satu tempat, ada orang yang bertanya kalau dia sakit di sekitar dada. Dengan sigap dan yakin, sang senior pun langsung menjawab dan mempraktikkan langsung produknya untuk diletakkan di suatu titik syaraf yang berhubungan dengan penyakit sang penanya. Al hasil, si penanya tadi tertarik dan membelinya.
"Pak, anda sudah lama ya di perusahaan ini? Bisa tau semua titik-titik syaraf yang berhubungan dengan penyakitnya.", tanya teman saya memberanikan diri ke sang senior karna penasaran.
"Oh tadi? Itu mah ngarang saja. Yang penting PeDe dan meyakinkan. Mereka juga gak akan tau.", jawab sang senior, memberikan 'ilmu baru' ke juniornya (termasuk teman saya).
Lebay, adalah kata kuncinya. Lantas, apakah lebay ini perlu dalam menjalani hidup?
Ya tergantung dari seberapa butuh kita menggunakan ke-lebay-an itu. Coba bayangkan deh apa jadinya kalau para pencerita tidak melebih-lebihkan ceritanya? Apa jadinya kalau penulis novel tidak lebay dalam menuliskan idenya? Apakah akan jadi sebuah novel?
Karna terkadang, hidup juga perlu lebay, agar jadi sebuah cerita. :)
Ah, lebay.
Banyak orang yang pada waktu mengobrol sering melebih-lebihkan omongannya. Yang tadinya satu, jadi dua, yang tadinya dua, jadi tiga, begitu seterusnya. Bahkan yang parahnya, yang tadinya tidak ada, di-ada-adakan. Maka dalam penggunaan berlebihan yang seperti ini menjadi tidak baik. Ah, jadi ingat hadits Nabi, bahwa sesuatu yang berlebihan memang tidak baik, apa pun itu.
Tapi tunggu deh. Apa jadinya kalau para motivator tidak lebay dalam memotivasi kliennya? Apakah akan dipercaya kata-kata yang diucapkan oleh motivator itu?
Seorang motivator harus pandai dalam bercerita. Maka tak jarang sang motivator selalu mempersonifikasikan setiap apa yang menjadi bahan motivasinya agar itu lebih meyakinkan. Lantas siapa yang dijadikan contoh dalam memotivasi? Ya dirinya sendiri dan teman dekat, serta keluarganya. Karena audience akan lebih percaya jika yang ditunjukkan adalah bukti, bukan angan atau pun pengandaian.
Nah, ini juga masalahnya. Apakah benar para motivator dan para keluarga atau pun sahabatnya itu pernah mengalami setiap masalah yang ditanyakan oleh para kliennya? Ya tidak mungkin. Karena masalah setiap orang itu berbeda-beda. Allah tidak mungkin memberikan masalah yang sama pada setiap makhluknya, anak kembar sekali pun. Motivator itu pandai, pandai mengamati setiap kejadian dan masalah orang lain, yang akan dipakainya dalam memberikan nasehat ke orang lain juga agar tidak mengalami masalah yang sama.
Tak ubahnya dengan seorang sales. Ya, sales, produk apa pun. Seorang marketing kuncinya ada di kemampuan verbalnya. Bagaimana mungkin ia menjual produknya tanpa mengeluarkan suara sedikit pun? Dan, bersuara saja bahkan tidak cukup. Ia bahkan ada diklatnya. Bagaimana cara meyakinkan orang agar membeli barang/jasa yang ditawarkan. Tak jarang ia melebih-lebihkan keunggulan dari produk yang ditawarkannya, meski tak semuanya benar.
Teman saya pernah ikut training menjadi sales produk (yang katanya) kesehatan. Semacam alat pijat yang (katanya lagi) bisa menyembuhkan suatu penyakit, hanya dengan menempelkan alat tadi ke syaraf-syaraf yang tepat. Dari cerita teman saya itu, jadi para pelamar dikelompokkan, dan masing-masing kelompok dipimpin oleh seorang seniornya. Mereka yang baru training, hanya diminta mengikuti dan melihat sang senior menawarkan produknya. Di salah satu tempat, ada orang yang bertanya kalau dia sakit di sekitar dada. Dengan sigap dan yakin, sang senior pun langsung menjawab dan mempraktikkan langsung produknya untuk diletakkan di suatu titik syaraf yang berhubungan dengan penyakit sang penanya. Al hasil, si penanya tadi tertarik dan membelinya.
"Pak, anda sudah lama ya di perusahaan ini? Bisa tau semua titik-titik syaraf yang berhubungan dengan penyakitnya.", tanya teman saya memberanikan diri ke sang senior karna penasaran.
"Oh tadi? Itu mah ngarang saja. Yang penting PeDe dan meyakinkan. Mereka juga gak akan tau.", jawab sang senior, memberikan 'ilmu baru' ke juniornya (termasuk teman saya).
Lebay, adalah kata kuncinya. Lantas, apakah lebay ini perlu dalam menjalani hidup?
Ya tergantung dari seberapa butuh kita menggunakan ke-lebay-an itu. Coba bayangkan deh apa jadinya kalau para pencerita tidak melebih-lebihkan ceritanya? Apa jadinya kalau penulis novel tidak lebay dalam menuliskan idenya? Apakah akan jadi sebuah novel?
Karna terkadang, hidup juga perlu lebay, agar jadi sebuah cerita. :)
Ah, lebay.
No comments:
Post a Comment