"Tempat dudukku
situ.", kata seorang ibu --yg membawa anaknya-- kepada temannya sambil
menunjuk tempat duduk yg dimaksud, sesuai yg tertera di tiketnya, tapi tidak
berani ngomong langsung ke orang yg lagi duduk di kursi itu. Ini kebiasaan
orang 'kampung', yg masih membawa budaya ewuh-pekewuh, atau kalau
di-Indonesia-kan artinya ada rasa 'tidak enak'.
Dalam contoh lain begini: Misalkan ada seseorang yg kaya raya, dan bingung mau disedekahkan ke mana uang itu. Terus tiba-tiba dia mau memberikan satu rumahnya ke saya dengan cuma-cuma. Saya sebagai orang yg baik, tentunya tidak ingin mengecewakan dia yg sudah berbaik hati, juga yg sudah mencari ladang pahala dengan caranya, tidak mau mengecewakan dia begitu saja. Ada rasa tidak enak dalam diri saya untuk menolak pemberiannya itu. Maka dengan
Nah, rasa tidak enak itu yg masih
Sayangnya, kebaikan yang berlebihan -- dengan membiarkan orang lain mengambil hak kita -- justru terkadang selain merugikan diri kita sendiri, secara langsung juga malah membiarkan orang lain terjerumus dalam kesalahan-kesalahan yang berkelanjutan.
Seperti kasus tadi misalnya. Orang yang membiarkan tempat duduknya untuk diduduki orang lain, telah rugi karna dirinya harus lelah berdiri beberapa jam. Sementara, orang yang menempati tempat duduknya juga rugi. Rugi tak mendapatkan edukasi (jika memang dia belum tau) untuk tau, bahwa dia sudah mengambil hak orang lain. Karna jika saat itu pula dia dikasih tau, maka itu adalah hal terakhirnya mengambil hak orang lain, untuk kemudian tidak melakukannya lagi. Atau, jika memang sebenarnya dia sudah tau, maka teguran itu menjadi pengingatnya, barangkali dia 'lupa'. :)
Tak sedikit perilaku rasa ewuh-pekewuh ini yang masih sering kita lihat dan kita ‘maklumi’. Siapa yang pernah melabrak orang yang mungkin tidak pernah mengenyam apa itu etika mengantre? Ini sering. Parahnya, orang yang dengan santainya menyerobot antrean itu bukan orang kawula alit yang mungkin memang tidak tau apa itu etika. Terkadang (atau seringnya?), kita hanya ngedumel, tanpa berani negur si pelaku dan dibarengi rasa pemakluman “Gak enak ah mo negur. Biarin aja lah, toh hanya menunda antrean 1 orang saja.”
Selama rasa gak enakan ini tidak terlalu merugikan diri dan orang lain, saya rasa tak begitu bermasalah. Sayangnya, perilaku ini secara langsung dan tidak, banyak merugikannya.
Harusnya, rasa gak enakan ini selalu ada dalam hati setiap orang untuk penggunaan hal-hal yang positif. Gak enak saat mau buang sampah sembarangan, gak enak kalau datang terlambat, gak enak kalau sholat ditunda-tunda, dan masih banyak hal positif lain yang bisa untuk di-gak enak-i.
Lho, jangan salah, kebanyakan koruptor, awalnya juga melakukan itu karena rasa gak enak. Gak enak takut dikucilkan oleh teman-temannya kalau tidak nurut untuk menerima 'bagian'. Gak enak takut dicap sok suci, karna menolak 'rejeki'. Gak enak menyia-nyiakan 'kesempatan' yang baru diterimanya. Ya gitu, gak enak.
Kayak saya sekarang juga gak enak, gak enak sudah nulis kebanyakan. Juga gak enak ama orang tuamu. *krik.
Ya sudah, kalau gak enak, ya jangan dimakan.
Hahahha budaya kayak gitu emang mash terus ada sih...hrusnya ya to the point aja
ReplyDeleteYa gitu, gak enak. :D
DeleteTerkadang memang ewuh pkewuh diidentikkan dengan menghormati orang lain walopun itu melanggar aturan
ReplyDeleteNdak semuanya gitu juga sih, mas. :)
Delete