Meski lama di Semarang, namun ketika ada orang yang bertanya tentang nama sebuah jalan, sering saya lupa mengingat dimana letak jalan itu. Apalagi jika harus menjawab secara langsung. Betapa pun sering, bahkan hampir setiap hari melewati jalan itu, terkadang saya lupa namanya. Lewat ya lewat saja, tanpa peduli apa nama jalan itu, yang penting sampai tujuan. Kecuali jalan-jalan itu adalah jalan penting, atau jalan utama, atau jalan yang menjadi iconnya kota Semarang. Lucu juga ketika seseorang tinggal di kota lumpia bertahun-tahun, tapi ketika ditanya letak jalan Pandanaran, jalan Pahlawan, dan jalan Pemuda tidak tau dimana. Iya, minimal tiga jalan itu yang harus diketahui seseorang ketika tinggal di Semarang. Karena di ketiga jalan itu yang paling sering ditanyakan orang luar kota ketika singgah di Semarang.
Bagi saya, mengingat nama orang yang pernah ada di hati jauh lebih mudah daripada mengingat nama-nama jalan. Agak jauh sih memang perbandingannya. Errr.. Oke, Saya ganti.
Mengingat nama makanan, itu jauh lebih mudah daripada mengingat nama-nama jalan. Setuju? :) Tapi memang, saya lebih mudah ketika harus menjawab nama kampung atau daerah daripada harus menjawab nama jalan. Kenapa? Mungkin karena nama-nama jalan di setiap kota itu biasanya sama. Di Jakarta -- meski saya tidak tau pasti letaknya dimana -- pasti ada nama jalan Ahmad Yani. Dan nama jalan itu, di setiap kota pun pasti ada. Iya termasuk kota kamu kan? :) Masih banyak nama jalan yang sama selain nama tadi, Slamet Riyadi, Soekarno - Hatta, Mataram, Dr.Cipto, dr.Wahidin adalah beberapa nama jalan yang akan kita temui di setiap kota di Indonesia, kecuali yang tidak ada. :D
Ketika saya melewati jalan yang lagi-lagi entah jalan apa, yang jelas di sekitar Pandanaran, mata saya menangkap gerobak yang tidak asing bagi orang yang pernah hidup di kota Semarang, gerobak 'Gilo-Gilo'. Itu pas di pertigaan di depan @Hom hotel. Gilo-gilo adalah istilah untuk dagangan berupa berbagai macam jajanan, aneka buah, gorengan, sampai arem-arem pun ada. Saya tidak tau darimana istilah 'gilo-gilo' itu muncul. Dan sampai sekarang pun saya masih heran dan suka bertanya pada diri-sendiri sebenarnya apa makna dari kata gilo-gilo itu. Terkadang saya suka meraba-raba sendiri arti dari kata itu. 'Gilo', dalam bahasa jawa berarti 'takut'(yang berlebihan). Maka, 'gilo-gilo' berarti 'takut-takut'. Lantas, hubungannya sama makanan yang dijual apa? Masa iya makanannya menakutkan? Atau, yang jual takut-takut? Aneh kan? Dalam hal lain saya juga terkadang mengartikan bahwa kata 'gilo-gilo' berasal dari kata 'gila'. Oke, sepertinya akan tambah aneh kalau dilanjutkan. Lupakan. :|
Siapa yang menjual gilo-gilo? Itu yang akan saya bahas. Perawakannya tidak tinggi, bisa dibilang pendek untuk ukuran seorang laki-laki. Kulit di wajahnya yang membentuk lipatan di mana-mana. Iya, tidak cuma di dahinya, pipinya, pelipis mata, kelopak mata bagian bawah juga berkerut, yang menandakan usianya yang tidak muda lagi. Tebakan saya usianya sekitar 70-an lebih. Waktu saya melihatnya, lewat di depan gerobaknya, mungkin bahkan dia tidak sadar. Bukan karena hilang ingatan atau pikun, tapi karna memang dia dalam keadaan merem sambil masih terduduk di belakang gerobak gilo-gilonya. Untungnya tidak sampai terjengkang ke belakang. :) Iya, kemungkinan kakek itu ngantuk berat. Sampai saya menghentikan motor, milih makanan, terus memakannya sampai habis pun kakek itu belum sadar. Tidak tega saya membangunkannya. Setelah makanan pertama habis, saya langsung
"Ngantuk mbah?", kata saya membuka dengan pertanyaan yang sangat tidak penting.
"Maksud loh?", jawab embahnya yang jelas saya karang sendiri, karena embahnya cuma jawab pakai senyum. Tapi senyumnya agak lebar, hingga saya melihat giginya yang sudah tidak lengkap lagi.
"Setiap hari di sini mbah?", saya melanjutkan menanya mbahnya karena saya penasaran dengan suara emasnya.
"Yaah kadang di sini, muter-muter gitu lah", jawab embahnya dengan suaranya yang memang merdu, menurut istrinya.
Oh iya, percakapan ini aslinya menggunakan bahasa Jawa, sudah saya translate-kan sekalian biar tidak roaming. :) Oke, saya lanjutkan ceritanya.
"Muter-muter gitu gak pusing mbah?",
"...", mbahnya bingung. "maksudnya?",
"Embah kalo jualan ke mana saja?", saya memutuskan untuk tidak melanjutkan pertanyaan gurauan saya karena suasana yang tidak mendukung. :)
"Ya paling di sekitar sini,"
"Berarti tiap hari di sini?"
"Ya nggak tiap hari juga, soalnya kadang ada yang keliling,"
"Maksudnya mbah?"
"Itu polpepe (yang dimaksud satpol PP) razia,"
"Oh... Emang sering ya mbah razianya?"
"Ya sering,"
"Mbah pernah kena?"
"Pernah, tapi langsung disuruh pergi, pindah. Tapi ada juga yang dibawa."
"Dibawa?"
"Iya, gerobaknya diangkut, masukin truk."
"Oh...", cuma ini jawaban saya sambil melanjutkan makan tahu isi.
Saya baru tau kalau beberapa jalan protokol di Semarang tidak diperbolehkan ada pedagang kaki lima. Dan untuk mengantisipasinya, pemkot mengerahkan satpol PP-nya dengan melakukan sweeping di jalan-jalan tersebut.
Pemerintah menginginkan kotanya menjadi indah dilihat. Mungkin, dengan tanpa kesemrawutan di jalan, bisa menambah poin akan keindahan itu. Memang sih, terkadang keberadaan para PKL cukup mengendat arus di jalan raya. Tapi itu bukan satu-satunya penyebab terjadinya kemacetan. Berhentinya angkot yang secara mendadak, dan 'ngetem' tidak pada tempatnya malah sering menjadi pemicu sebuah kemacetan.
Kalau menurut saya, jika PKLnya keliling (tidak menetap) tidak begitu masalah. Yang bermasalah adalah ketika seorang PKL menetap pada suatu tempat, di mana tanah yang ditempati adalah milik pemerintah yang seharusnya digunakan untuk kepentingan umum, apalagi sampai membuat bangunan semi permanen, bahkan sampai menetap. Ujung-ujungnya nanti kalau disuruh pergi, bilangnya kena gusur dari pemerintah. :/
Terlepas dari ketertiban dan keindahan jalan dari kesemrawutan para PKL, si embah yang saya tidak tau namanya, dan para sopir angkot itu adalah orang-orang hebat (lagi-lagi), orang-orang yang tidak mau cuma menengadahkan tangan meminta belas kasih dari banyak orang untuk terus bertahan hidup dan menghidupi keluarganya. Karena banyak di luaran sana saya melihat orang-orang yang kondisi fisiknya jauh lebih muda dan lebih kuat dari si embah yang memilih menjadi peminta-minta. Bukan soal nasib, tapi barangkali juga mental.
"Yah, nyari rejeki mas", katanya agak lirih karena memang sangat kelihatan kalau matanya sudah ingin merem. Sampai akhirnya saya seperti orang gila. Iya, ternyata saya memang ngomong sendiri karena embahnya sudah tertidur. Beliau seperti nyuruh saya untuk menjaga dagangannya. Curang ih. :/
Patut dihargai orang-orang yang terus bekerja keras walaupun pendapatannya kecil daripada meminta-minta padhal mampu bekerja
ReplyDeleteLike this. *nyari gambar jempol ke atas*
DeleteTerimakasih sudah mampir. :)
Paling hapal sama Pandanaran karena banyak toko jajan hahaha
ReplyDeletePaling diinget kenangannya tapi, kan ya? :P
Delete*mlipir*