Surat |
Sesuai yang tertera di surat tilang, saya datang ke pengadilan yang juga tertulis pada surat tilang itu. Itu pas hari Jumat, hari di mana banyak orang yang mengatakan itu adalah hari pendek. Saya tau kenapa orang-orang pada berkata seperti itu. Karena doktrin sekolah yang memulangkan sekolah lebih cepat dari hari-hari biasanya, dengan alasan karena para kaum Adam harus menjalankan sholat Jumat. Padahal kalau dipikir-pikir, baik sholat dhuhur atau pun sholat Jumat sama saja. Maksudnya waktunya relatif sama. Memang, sholat dhuhur itu tidak diwajibkan adanya khotbah. Tapi di instansi-instansi, memberi waktu untuk ishoma (istirahat-sholat-makan) rata-rata juga sama, satu jam. Dan di beberapa sekolah, ini sudah diterapkan. Jadi, baik Jumat atau pun tidak, pulangnya tetap sama. Lagi pula, memang pada hari Jumat, waktunya dalam sehari beda? Kan tidak. Jumat juga sama-sama 24 jam dalam sehari. :)
Karena memang saya sendiri belum
pernah datang ke sidang di tempat di mana saya ditilang saat ini, maka saya
juga tidak tau jam berapa tepatnya pelaksanaan tilang itu. Saya datang ke
pengadilan itu setelah Jumatan. Tapi sebelum ke sana,
saya bermaksud makan dulu, karena kebetulan saya tidak sarapan hari itu. Entah apa nama makannya. Dibilang sarapan, waktunya sudah siang, dibilang makan siang, saya juga belum sarapan.
saya bermaksud makan dulu, karena kebetulan saya tidak sarapan hari itu. Entah apa nama makannya. Dibilang sarapan, waktunya sudah siang, dibilang makan siang, saya juga belum sarapan.
Anda sudah bisa menebaknya
suasana perut saya saat itu. Terjadi demonstrasi dari cacing di perut saya saat
itu. Sebenarnya saya tidak lapar kalau saja saya tidak mengatakan lapar. Iya, semua keadaan manusia itu tergantung dari
mulutnya. Di sana juga tempat di mana
untuk memutuskan sesuatu. Sakit, lapar, haus, ngantuk, bagamana mulut itu
berkata, maka yang lain tinggal mengiyakan saja. Atau barangkali memang, karena
yang lain tidak bisa menyangkalnya? :)
Dan setelah bebenah, saya
bergegas ke warung gado-gado langganan sebelum melanjutkan ke pengadilan,
karena memang keadaan perut benar-benar pengen diisi makanan. Di sana terlihat
tidak begitu banyak orang, maka itu, saya memutuskan untuk tetap masuk ke
warung yang tidak terlalu besar itu. Karena kalau ramai, saya pasti harus
menunggu ngantri dulu untuk dapat pelayanan. Yang artinya juga, cacing di perut
saya tambah meronta-ronta. Dan seandainya itu terjadi, saya sudah menyiapkan
planning ke-dua, yaitu mencari warung yang lain, meski rasa nomor dua, yang
penting saya segera bisa makan, tanpa menunggu pesanan lama. Iya, keadaan perut
yang mendesak. :)
Setelah di dalam, seperti biasa
basa-basi dengan sang penjual yang memang melihat saya masuk ke warungnya.
Terlihat sang penjual lagi meladeni pembeli yang lain yang memang datang lebih
awal. Saya duduk, tanpa harus memesan
makanan yang mau saya makan. Itu karena mbak penjualnya sudah tau apa yang
biasanya saya pesan.
Sambil nunggu, seperti biasa
untuk menghilangkan rasa bosan, saya membuka HP dan membuka social media untuk
sekedar melihat-lihat berita yang muncul di time line. Tapi sepertinya,
beritanya juga itu-itu saja, sama seperti hari sebelumnya. Perasaan agak lama juga
saya menunggu makanan yang tidak datang-datang. Setelah saya melihat aktifitas
mbak yang jual, ternyata masih membungkus pesanan makanan yang memang pesannya
banyak. Pantesan. Perasaan pengunjungnya tidak terlalu banyak, tapi kok lama?
Kalau sudah begini jadi serba salah. Mau pindah warung, tidak enak sama yang
jual karena sudah kenal, mau tetap di sana, perut sudah meronta-ronta. Tips
buat yang mau makan dan dalam keadaan perut laper stadium akhir: bila akan
makan di warung langganan, pastikan pengunjungnya lagi sedikit dan pastikan
juga tidak ada pesanan makanan buat dibungkus dalam jumlah yang banyak. Jika
itu terjadi, segera pindah untuk mencari tempat makan baru yang sepi
pengunjung. Kalau tidak ingin perut anda demo semena-mena.
Tapi untungnya laparnya perut
saya tidak sampai pada taraf pingsan apabila dalam waktu satu jam tidak terisi
makanan, jadi yaaa dengan sedikit menahan sakit, masih bisa ditolerir laaah..
Setelah urusan perut kelar, saya
melanjutkan perjalanan ke tujuan utama saya, yaitu kepengadilan agama
untuk menikah mengambil SIM yang hampir satu bulan menginap di sana.
Dengan berpikiran bahwa jam kerja kantor sampai jam empat sore, maka saya pun
tidak terlalu tergesa-gesa saat menuju ke sana. Sambil mencoba menelaah
petunjuk teman tentang keberadaan kantor pengadilan itu, maka saat sudah mendekati
dari apa yang sudah saya terima petunjuk teman itu, saya berkecepatan pelan.
Takut terlewat. Karena kalau sampai itu terjadi, maka saya harus putar balik
dengan jarak yang lumayan jauh.
Dari pada itu terjadi, mending
saya bertanya ke orang yang bisa saya tanya. Dan kebetulan, di tepi jalan itu
ada beberapa orang bapak-bapak yang lagi berdiri, seperti lagi menunggu
seseorang yang lagi ditunggu. Dan saat saya menghidupkan lampu sen bahwa saya
akan menepi di situ, seorang bapak itu malah seperti sengaja menghampiri
saya.
“Mau ngambil SIM apa STNK?”,
tanya dia.
Lah, kok dia tau kalau saya mau
ke pengadilan untuk mengambil SIM?
“Pengadilannya mana ya pak?”,
saya tidak menjawab pertanyaannya, dan fokus ke tujuan awal, bertanya. J
“Iya, itu. Mau ngambil apa? Saya
bantu sini.”, kata orang itu lagi.
Maka dari pertanyaan itu, tanpa
dijelaskan dia siapa, saya tau, saya simpulkan bahwa dia adalah calo pengambil
SIM atau STNK hasil tilang. J
“Oh, terimakasih pak, mau saya
ambil sendiri.”, jawab saya akhirnya sambil menjalankan motor saya.
Sampai di parkiran pengadilan,
ternyata ada calo yang mendekati saya lagi.
“Ngambil apa mas? Sini saya
bantu.”,
“Ngambil SIM pak.”,
“Sini saya ambilkan, cuma lima
menit,” katanya lagi.
Karna saat itu sorenya saya ada
pekerjaan lagi, maka saya agak tergiur dengan tawarannya yang cuma lima menit.
“Lumayan juga, menyingkat waktu.”, pikir saya.
“Memang berapa pak?”, tanya saya
akhirnya karna penasaran.
“Coba lihat dulu surat
tilangnya.”
Saya pun menunjukkan surat tilang
kepada bapak calo itu.
“Oh ini kalau ikut sidang tadi
harusnya sekian, tapi karena tadi tidak ikut di denda sekian. Anda ngasih saya
sepuluh ribu aja deh buat jasa.”, kata dia.
“Lah, mahal amat pak?”, kata
saya. Karena memang sebelumnya saya nanya-nanya dulu ke teman, berapa kisaran
denda kalau sidang juga kalau tidak ikut sidang. “Oh, berarti sidangnya cuma
pagi ya pak? Ah, tapi masa sampai segitu sih pak?”, tanya saya balik, berharap
dia memberi harga yang pas.
“Iya, cuma pagi. Saya ambilkan
sini, kalau ambil sendiri susah lho. Uangnya nanti saja, gak papa.”, kata dia.
“Ya sudah lah pak, saya ambil
sendiri saja. Terima kasih.”
Saya berlalu dari bayang-bayang
sang bapak, untuk menuju ke dalam pengadilan yang jujur saja saat itu tidak tau
yang dituju ke mana dulu. Ruangannya ada banyak. Ketika ada orang yang lewat,
saya tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk bertanya.
Ternyata, yang pertama kali harus
saya lakukan adalah mencari orang dengan ciri-ciri ada di depan laptop. Dan itu
letaknya ada di bagian belakang. (OK, ini mirip main mencari jejak J)
Setelah ketemu, ternyata orang itu adalah orang yang bertugas mencarikan nomor,
entah nomor urut hasil tilang, nomor berdasarkan jenis pelanggaran, atau nomor
apa, saya tidak tau. Yang jelas, nomor itu menunjukkan kepada siapa saya harus
mengambil SIM saya. Kalau tidak salah, ada empat orang yang masing-masing
memegang surat-surat hasil tilang, dan di nomor itu, saya ditunjukkan orang
yang mana yang memegang SIM saya berdasarkan nomor tadi.
Saya mencari bapak yang sudah
disebutkan pada saat pengambilan nomor tadi. Dan setelah ketemu, saya
menyebutkan nomor yang sudah diberikan tadi, seakan sebagai sandi. J
“Sekian mas”, bapak itu
menyebutkan nominal uang yang harus saya bayar sebagai tebusan plus denda hasil
tilang.
Saya memberikan sejumlah uang
yang disebutkan. Dan ternyata, proses itu tidak lama. Dari saya di tempat
pasrkir, sampai saya menemui bapak yang memegang SIM saya, tidak ada 15 menit.
Juga, uang denda yang harus saya bayarkan ke pengadilan, besarnya separuh dari
nominal uang yang calo tadi tawarkan.
Untung tidak jadi, tekor banyak
kalau tadi jadi deal sama calonya. J Bukannya tidak mau
membagi rejeki dengan si calo, tapi di sana, calonya pada bawa mobil. Jadi
mungkin, itu hanya sebagai pekerjaan sampingan saja tiap hari Jumat. Karena
memang sidangnya tiap hari Jumat.
Tapi setelah saya ngobrol dengan
teman saya tentang sidang ini, kalau ikut sidang, dendanya bisa lebih murah
lagi, katanya. Ah, yang penting uang saya tidak masuk ke kantong oknum polisi
sensian yang sudah nilang saya tanpa alasan kesalahan yang jelas (ini sudah
saya tulis di sini). Juga yang penting, uangnya masuk ke kas Negara (tetep positive thingking J).
No comments:
Post a Comment