Kemarin itu hari Jumat. Tapi saya tidak berangkat melaut karena saya bukan pelaut. Juga tidak ke sekolah, karena tadi tanggal merah. Itu yg merah di kalender kamar teman, padahal tanggalan di HP saya juga tidak merah. Ini mungkin konspirasi antara tukang pembuat tanggalan dengan orang-orang yang suka libur. Tapi saya kok tidak diajak? Padahal saya juga suka libur. Ah, biar saja. Yang penting kemarin juga ikut libur. Meski tadinya
saya tidak ngeh. Siswa privat saya yg ngingetin.
"Eh mas, sekolahmu besok Jumat libur nggak?", tanya dia di sela-sela belajar.
"Emang di sekolahmu libur?", tanya saya balik.
"Lah, kan tanggal merah?",
"Oh.. Besok coba aku tanya ke siswa deh, enaknya libur apa enggak.", jawab saya.
"...", dia diam. Tapi terus tiba-tiba tertawa. Aneh.
Oh iya, ternyata kemarin itu tanggal merah karena ada imlek. Itu, tahun baru Cina. Kenapa di Indonesia ikut juga? Mungkin karena di Indonesia ada orang Cinanya. Yang keturunan, banyak malah. Itu, di toko-toko di pasar pasti ada. Karna pasar di Indonesia ada banyak, berarti kesimpulannya orang Cina di sini pasti banyak juga.
Memang sudah seharusnya begitu. Saling menghormati. Menghormati tidak harus mengangkat tangan, terus ditempelkan ke dahi, layaknya pak polisi saat hormat ke saya waktu akan menanyakan SIM dan STNK di tepi jalan, tentunya setelah saya menginjak rem dan berhenti. Karena, kalau ingin dihormati, juga harus menghormati orang lain terlebih dulu, katanya. Seperti waktu bapak polisi itu hormat kepada saya, saya juga hormat kepadanya sebelum mengambil SIM dan STNK di dompet. Nggak enak kalau tidak, kan beliau sudah hormat dulu.
Saya juga hormat ke orang tua, meski beliau tidak meminta dan memaksanya. Karena sesuatu kalau dipaksakan katanya tidak baik. Apalagi masalah hormat-menghormati begini. Kalau dipaksakan berarti bukan atas inisiatif sendiri, juga bukan kesadaran sendiri. Masalah nurani itu urusan pribadi masing-masing. Coba bayangkan, kalau tidak kebelet buang air, tapi dipaksa untuk ke kamar mandi, juga tidak enak. Urusan buang hajat ini, saya tidak pernah melihat ada orang yang ke kamar mandi berdua untuk buang hajat tadi. Kecuali saat masih balita, TK, atau barangkali SD.
Semoga tanggal merah itu bukan cuma simbol saja. Tapi setidaknya ia bikin banyak orang senang. Iya, banyak siswa yang pada senang dengan adanya tanggal merah ini. Kamu juga kan? Mungkin saking senangnya, teman saya jadi lupa kalau tanggal merah kemarin itu adalah hari Jumat, bukan hari Minggu seperti biasanya. Dia jadi ingat kalau kemarin hari Jumat saat kita lagi makan siang, makan batagor. Saat mengobrol, dia seperti orang kaget. "Hah, ini hari Jumat?", tanya dia ke saya. Dia kemarin sholat pas di masjid lagi adzan. Tapi itu sholatnya di rumah, sholat dhuhur. Dia lupa untuk sholat Jumat di masjid.
Saat makan baru beberapa sendok, (berapa ya? Maaf lupa, tidak usah memaksa untuk mengingatnya ya.. nanti saya jadi pusing) telepon saya berbunyi. Biar tidak mengganggu orang-orang yang lagi pada makan juga, saya angkat itu telepon. Ternyata itu kabar kalau teman saya masuk ke rumah sakit karena sakit. Iya, dia sakit. Karena ada orang yang ke rumah sakit bukan karena sakit, tapi karena memang dia kerja di sana. Jadi perawat, atau juga dokter, atau juga cleaning servis. Ada juga yang ke sana karna menengok orang yang lagi sakit, kayak saya saat setelah mendapat telepon itu, setelah batagornya habis, juga setelah saya bayar tentunya.Karena kalau tidak, mungkin bisa diteriakin maling.
Saya ke sananya bareng teman yang tadi makan bareng. Padahal lagi gerimis, tapi kami pakai motor. Mau pakai mobil, ada sih. Tapi itu punya tetangga, bukan punya kami. Gak jadi pakai deh. Sampai di rumah sakit, kami menuju tempat parkirnya. Motor saya mendekat ke pencetan kartu parkirnya, mesinnya bersuara. Suaranya suara seorang perempuan. Dia menyuruh pengunjung yang datang untuk menekan tombolnya. Teman saya yang menekan itu tombolnya sebelum suara perempuan di mesin itu selesai ngomong. Malahan teman saya saat mencet tombolnya bilang, "Berisik ah!". Tapi dia tidak takut dengan gertakan teman saya itu, dia tetap melanjutkan bicaranya sampai selesai. Mungkin dia sudah terbiasa dibegitukan.
Kami melanjutkan perjalanan untuk menuju ke kamarpengantin tempat dimana teman saya dirawat setelah melewati tiga orang security dan bertanya kepadanya. Belum sampai di tempat tujuan, tepatnya di lorong rumah sakit, HP saya bunyi lagi. Itu nada sms. Saya buka itu sms dan saya baca, karena saya bisa baca.
"Asslm.. Pak njenengan tidak usah ke sini. Tadi guru lain sdh ke sini.", begitu bunyi smsnya. Saya tau maksud dari sms itu. Teman saya yang sakit itu adalah tipe orang yang tidak mau merepotkan orang lain. Saat menolongpun, dia tidak pernah berharap suatu balasan. Saya tau itu. Sifat baiknya memang kebangetan. Kalau di dunia ini berisi orang seperti dia, tidak ada orang berantem di jalanan, tidak ada kekerasan yang biasa orang lain lakukan.
Benar saja, sampai di sana, dia masih terbaring, karena memang tidak boleh jingkrak-jingkrak saat sakit. Dia di sana bersama istrinya, dan langsung tertawa ketika saya menginjakkan kaki di pintu kamar. Akhirnya sayapun ikut tertawa, padahal memang belum ada bicara apa-apa. Iya, itu karena sms tadi, dan belum ada lima menit. Dia pun bilang, "Ngapain ke sini to pak, kan sudah di wakilkan. Nggak enak saya selalu merepotkan njenengan.". Benar apa perkiraan saya tadi. Padahal saya tidak merasa direpotkan.
Bukan masalah direpotkan atau merepotkan. Tapi tentang kata di wakilkan atau mewakilkan. Bagi saya, kegiatan jenguk-menjenguk ini adalah urusan diri, tentang nurani, lagi-lagi. Barangkali kalau tidak salah mendengar, itu adalah bentuk ibadah. Mana ada ibadah yang bisa di wakilkan? Seperti sholat misalnya. Mungkin ada, tapi itu jelas dalilnya. Tidak bagi urusan ini. Saya sih tidak tau banyak soal ini. Tapi setidaknya itu opini saya.
Meski di sana juga saya tidak ngapa-ngapain. Tapi barangkali yang ditengok tidak merasa sendirian, bahwa ada orang lain yang masih peduli. Lagian juga kita disuruh untuk masalah ini olehNya. Itu yang saya pernah dengar lewat ceramahnya para ustad sih. Iya, di sana saya hanya mengobrol, juga cuma bisa berdoa, semoga cepat sembuh ya sobat.
Dalam sekamarnya ada orang lain yang sakit juga. Orang itu pakai semacam alat bantu pernafasan, katanya sih untuk mengurangi lendir atau apalah saya kurang paham. Tiba-tiba diruangan itu, dari belakang arah saya, bunyi sesuatu. Saya agak kaget dengan raut wajah yang mungkin agak ketakutan untuk menengok ke belakang karena suara itu. Teman saya yang melihat ekspresi saya bilang kalau saya tidak perlu takut, karena itu cuma bunyi alat tadi yang entah sampai sekarang saya tidak tau namanya itu. Lalu dia bersama teman saya yang sakit dan istrinya, pada menertawakan ketakutan saya. :/
saya tidak ngeh. Siswa privat saya yg ngingetin.
"Eh mas, sekolahmu besok Jumat libur nggak?", tanya dia di sela-sela belajar.
"Emang di sekolahmu libur?", tanya saya balik.
"Lah, kan tanggal merah?",
"Oh.. Besok coba aku tanya ke siswa deh, enaknya libur apa enggak.", jawab saya.
"...", dia diam. Tapi terus tiba-tiba tertawa. Aneh.
Oh iya, ternyata kemarin itu tanggal merah karena ada imlek. Itu, tahun baru Cina. Kenapa di Indonesia ikut juga? Mungkin karena di Indonesia ada orang Cinanya. Yang keturunan, banyak malah. Itu, di toko-toko di pasar pasti ada. Karna pasar di Indonesia ada banyak, berarti kesimpulannya orang Cina di sini pasti banyak juga.
Memang sudah seharusnya begitu. Saling menghormati. Menghormati tidak harus mengangkat tangan, terus ditempelkan ke dahi, layaknya pak polisi saat hormat ke saya waktu akan menanyakan SIM dan STNK di tepi jalan, tentunya setelah saya menginjak rem dan berhenti. Karena, kalau ingin dihormati, juga harus menghormati orang lain terlebih dulu, katanya. Seperti waktu bapak polisi itu hormat kepada saya, saya juga hormat kepadanya sebelum mengambil SIM dan STNK di dompet. Nggak enak kalau tidak, kan beliau sudah hormat dulu.
Saya juga hormat ke orang tua, meski beliau tidak meminta dan memaksanya. Karena sesuatu kalau dipaksakan katanya tidak baik. Apalagi masalah hormat-menghormati begini. Kalau dipaksakan berarti bukan atas inisiatif sendiri, juga bukan kesadaran sendiri. Masalah nurani itu urusan pribadi masing-masing. Coba bayangkan, kalau tidak kebelet buang air, tapi dipaksa untuk ke kamar mandi, juga tidak enak. Urusan buang hajat ini, saya tidak pernah melihat ada orang yang ke kamar mandi berdua untuk buang hajat tadi. Kecuali saat masih balita, TK, atau barangkali SD.
Semoga tanggal merah itu bukan cuma simbol saja. Tapi setidaknya ia bikin banyak orang senang. Iya, banyak siswa yang pada senang dengan adanya tanggal merah ini. Kamu juga kan? Mungkin saking senangnya, teman saya jadi lupa kalau tanggal merah kemarin itu adalah hari Jumat, bukan hari Minggu seperti biasanya. Dia jadi ingat kalau kemarin hari Jumat saat kita lagi makan siang, makan batagor. Saat mengobrol, dia seperti orang kaget. "Hah, ini hari Jumat?", tanya dia ke saya. Dia kemarin sholat pas di masjid lagi adzan. Tapi itu sholatnya di rumah, sholat dhuhur. Dia lupa untuk sholat Jumat di masjid.
Saat makan baru beberapa sendok, (berapa ya? Maaf lupa, tidak usah memaksa untuk mengingatnya ya.. nanti saya jadi pusing) telepon saya berbunyi. Biar tidak mengganggu orang-orang yang lagi pada makan juga, saya angkat itu telepon. Ternyata itu kabar kalau teman saya masuk ke rumah sakit karena sakit. Iya, dia sakit. Karena ada orang yang ke rumah sakit bukan karena sakit, tapi karena memang dia kerja di sana. Jadi perawat, atau juga dokter, atau juga cleaning servis. Ada juga yang ke sana karna menengok orang yang lagi sakit, kayak saya saat setelah mendapat telepon itu, setelah batagornya habis, juga setelah saya bayar tentunya.Karena kalau tidak, mungkin bisa diteriakin maling.
Saya ke sananya bareng teman yang tadi makan bareng. Padahal lagi gerimis, tapi kami pakai motor. Mau pakai mobil, ada sih. Tapi itu punya tetangga, bukan punya kami. Gak jadi pakai deh. Sampai di rumah sakit, kami menuju tempat parkirnya. Motor saya mendekat ke pencetan kartu parkirnya, mesinnya bersuara. Suaranya suara seorang perempuan. Dia menyuruh pengunjung yang datang untuk menekan tombolnya. Teman saya yang menekan itu tombolnya sebelum suara perempuan di mesin itu selesai ngomong. Malahan teman saya saat mencet tombolnya bilang, "Berisik ah!". Tapi dia tidak takut dengan gertakan teman saya itu, dia tetap melanjutkan bicaranya sampai selesai. Mungkin dia sudah terbiasa dibegitukan.
Kami melanjutkan perjalanan untuk menuju ke kamar
"Asslm.. Pak njenengan tidak usah ke sini. Tadi guru lain sdh ke sini.", begitu bunyi smsnya. Saya tau maksud dari sms itu. Teman saya yang sakit itu adalah tipe orang yang tidak mau merepotkan orang lain. Saat menolongpun, dia tidak pernah berharap suatu balasan. Saya tau itu. Sifat baiknya memang kebangetan. Kalau di dunia ini berisi orang seperti dia, tidak ada orang berantem di jalanan, tidak ada kekerasan yang biasa orang lain lakukan.
Benar saja, sampai di sana, dia masih terbaring, karena memang tidak boleh jingkrak-jingkrak saat sakit. Dia di sana bersama istrinya, dan langsung tertawa ketika saya menginjakkan kaki di pintu kamar. Akhirnya sayapun ikut tertawa, padahal memang belum ada bicara apa-apa. Iya, itu karena sms tadi, dan belum ada lima menit. Dia pun bilang, "Ngapain ke sini to pak, kan sudah di wakilkan. Nggak enak saya selalu merepotkan njenengan.". Benar apa perkiraan saya tadi. Padahal saya tidak merasa direpotkan.
Bukan masalah direpotkan atau merepotkan. Tapi tentang kata di wakilkan atau mewakilkan. Bagi saya, kegiatan jenguk-menjenguk ini adalah urusan diri, tentang nurani, lagi-lagi. Barangkali kalau tidak salah mendengar, itu adalah bentuk ibadah. Mana ada ibadah yang bisa di wakilkan? Seperti sholat misalnya. Mungkin ada, tapi itu jelas dalilnya. Tidak bagi urusan ini. Saya sih tidak tau banyak soal ini. Tapi setidaknya itu opini saya.
Meski di sana juga saya tidak ngapa-ngapain. Tapi barangkali yang ditengok tidak merasa sendirian, bahwa ada orang lain yang masih peduli. Lagian juga kita disuruh untuk masalah ini olehNya. Itu yang saya pernah dengar lewat ceramahnya para ustad sih. Iya, di sana saya hanya mengobrol, juga cuma bisa berdoa, semoga cepat sembuh ya sobat.
Dalam sekamarnya ada orang lain yang sakit juga. Orang itu pakai semacam alat bantu pernafasan, katanya sih untuk mengurangi lendir atau apalah saya kurang paham. Tiba-tiba diruangan itu, dari belakang arah saya, bunyi sesuatu. Saya agak kaget dengan raut wajah yang mungkin agak ketakutan untuk menengok ke belakang karena suara itu. Teman saya yang melihat ekspresi saya bilang kalau saya tidak perlu takut, karena itu cuma bunyi alat tadi yang entah sampai sekarang saya tidak tau namanya itu. Lalu dia bersama teman saya yang sakit dan istrinya, pada menertawakan ketakutan saya. :/
No comments:
Post a Comment