9/30/14

Poli-sick (tulisan ini blm selesai)


gambar diambil dari iipx.blogspot.com


Politik? Ah, saya dulu malas sekali mendengar kata politik. Apa itu politik? Saya tidak begitu peduli, “biarkan pemerintah saja yang memikirkannya”. Begitu pikir saya saat itu. Lagian memang, saya punya latar belakang pengetahuan yang negative tentang hukum dan kroninya, tentang pemerintahan orde baru yang mendarah dagingkan korupsi hingga sampai pada masa sekarang yang justru banyak orang yang bilang bahwa itu tidak mungkin bisa dihilangkan. (Dan sampai sekarang pun saya masih mendengar secara langsung budaya ini). 

Iya, betapa dulu ya tinggal manut saja apa kata pemerintah. Apa yang menjadi keputusannya mau tidak mau harus dilaksanakan. Termasuk keputusan tentang naiknya harga diri bumbu dapur. Memang sekarang tidak begitu?
Ya sama saja, sih. Tapi, dulu, betapa pun kita punya hak untuk berpolitik, kalau sebagai rakyat jelata, tidak bisa berkontribusi apa-apa. Jaman orba, pemilu hanya formalitas saja. Siapa yang tidak sependapat dengan pemerintah, hak kesejahteraan hidup dikebiri. Bahkan saya yakin anda juga sudah pernah mendengar kalau ada beberapa aktifis yang bertentangan dengan pemerintah saat itu, langsung diciduk untuk ‘diasingkan’.

Titik balik sebuah harapan muncul ketika masa orde baru berhasil digulingkan. Bahkan sampai beberapa orang yang sudah tau betapa runyamnya masa pemerintahan orde baru, melaksanakan nazarnya di kala itu. Anda tau Kang Maman yang sekarang terkenal sebagai notulen di acara ILK dengan gaya khas rambut botaknya? Menurut pengakuannya, beliau bergaya plontos seperti itu lantaran pernah bernazar kalau pemerintahan Orde Baru berhasil dilengserkan, akan menggundul kepalanya.

Saya memang belum tau tentang keadaan politik di masa itu, karena usia saya yang masih imut-imut, tapi saya tidak buta huruf dan aksara, alhamdulillah juga diberi pendengaran yang cukup sempurna, sehingga apa-apa yang terdengar dan terbaca, bisa saya saring dan gali infonya. Saya memang termasuk orang yang keponya tinggi, tapi tidak menerima begitu saja informasi yang baru saya dapat. Jadi terus mencari informasi tidak hanya dari satu, dua, atau tiga sumber saja, tapi sampai bersumber-sumber hingga saya bisa menyimpulkannya.

Sebenarnya saya juga belum tau apa-apa tentang apa yang namamya politik ini. Tapi tangan saya begitu gatal di kala mulut saya tidak sanggup (lebih tepatnya malas) jika harus beradu argumen kepada orang yang lagi jatuh cinta pada tokoh politik yang sudah jelas track recordnya. Ya, saya setuju dengan pendapat Mbah Sujiwo Tejo, bahwa pekerjaan yang sia-sia adalah ketika harus menasehati orang yang sedang jatuh cinta. Itulah alasan saya untuk lebih baik diam daripada harus capek memberikan tanggapan yang berseberangan dengannya. Maka, sebagai pelampiasan, saya memilih media ini untuk mengungkapkan apa yang ada dalam pikiran saya. Meski pasti sudah banyak yang menulis hal yang serupa.

Termasuk terhadap masa pemerintahan orde baru. Tidak sepenuhnya saya menyalahkan presidennya kala itu, karna bagaimana pun, setiap individu pasti punya dua sisi. Dan sisi yang tidak bisa saya terima adalah ketika ada orang yang masih dengan amat sangat membandingkan dengan mengagungkan bahwa di masa pemerintahan Orde Baru dulu, jauh lebih baik dari masa-masa pemerintahan setelahnya. Bahwa telinga saya selalu panas ketika seorang teman, saudara, juga bahkan mahasiswa mengatakan, "Wah, masih mending jaman orde baru, yang korupsi cuma presidennya saja. Gak kayak sekarang, korupsi marak di mana-mana. Bahkan sampai pejabat kecil pun korup." Iya, saya selalu gemas juga heran dengan orang-orang yang mengucapkan itu. Sebelumnya maaf, mereka itu orang-orang parpol, tidak tau internet, atau memang tidak bisa baca tulis?

Bagaimana bisa tau seseorang pada masa itu korupsi atau tidak? Lha wong media tidak ada yang (berani) meliput. Siapa yang berani meliput, dia bakal menanggung akibat yang sangat beresiko terhadap dirinya bahkan keluarganya. Lagian siapa yang diliput, siapa yang jadi tersangka korupsi saja tidak ada. Tidak ada bukan karena memang tidak ada, tapi ya itu, tidak ada yang menuduh, tidak ada membuktikan, juga tidak ada yang meliput, karena tidak ada yang menangkap, sehingga orang-orang yang hanya cuma melihat TV di masa sekarang akan melihatnya bahwa pada masa itu tidak ada orang yang korupsi selain presidennya. Y a, masa itu belum ada KPK. Orang baik hanya bisa diam.

Beda dengan masa sekarang, di mana sudah ada lembaga yang menangani tentang korupsi, KPK. Di mana sudah ada kebebasan pers untuk menayangkan sebuah berita (sehingga maaf, terkadang karna kebebasan itu, tayangan yang tidak pantas ditonton oleh anak-anak pun ditayangkan pada jam-jam yang padahal saat itu banyak anak yang melihat tayangan itu). Sekarang, ada yang korupsi dan kena KPK, semua orang bisa tau dalam hitungan kurang dari 24 jam dari penangkapannya.

Maka, setiap partai atau sistem politik yang berhubungan dengan masa pemerintahan OrBa (malah ada yang dengan sengaja mengkampanyekan bahwa masa pemerintahan OrBa lebih enak, dengan jargon "Piye, isih enak jamanku to?"), saya sangat tidak mendukung. Saya rasa, mereka yang mendukung adalah orang yang memang tidak tau, atau bahkan memang yang ingin mengembalikan jaman di mana ada uang, maka semuanya bisa di nego. Di mana (maaf) mereka memang punya kepentingan untuk menebalkan dompet mereka dengan cara korup secara berjamaah. :)


No comments:

Post a Comment