1/30/15

Lampu - Mendung - Tilang

Pulang-pulang, sudah malam saja. Padahal berangkatnya tadi pagi. Itu, saat matahari masih di sebelah timur bumi. Eh bentar, padahal kalau menurut buku yang pernah saya baca saat sekolah dulu, justru bumilah yg mengelilingi matahari. Berarti harusnya, letak suatu planet, titik acuannya ya memakai matahari, bukan malah sebaliknya. Seperti kalimat yang menggambarkan suasana pagi tadi, bukan letak matahari yang ada di sebelah timur bumi, tapi harusnya, bumi yang berada di sebelah barat matahari. :) 

Ah, tapi saya juga tidak yakin sih. Itu karena tadi, seharian itu mendung. Bahkan rintik airnya sudah jatuh ke tanah. Hampir seharian. Sampai saya pulang tadi. Jadi tidak terlihat di mana letak matahari itu barada. Untungnya sudah ada yang menciptakan jam. Jadi tidak perlu repot-repot untuk tau kapan waktu sholat, juga kapan waktu untuk memulai dan mengakhiri sebuah aktifitas. Juga 
kalau tidak ada jam, saya taunya seharian tadi pasti pagi teruuus.. Saya tidak akan beranjak dari tempat tidur. Maka itu, saya ucapkan terima kasih kepada engkau hai penemu jam.

Sayangnya, cuaca tak bisa membaca jam. Ia berubah-ubah sesuai keinginanNya. Coba kalau misalkan bisa, maka orang akan memintanya sesuai yang mereka inginkan. Dan saya khususnya, akan meminta kalau hujan, datangnya malam saja, saat orang-orang pada tidur. Kalau siang, biarkan cerah, agar aktifitas mereka yang bekerja di siang hari, tidak terganggu, apalagi buat mereka yang bekerja di luar ruangan. Jadi waktu tidur bisa adem, tanpa kipas, tanpa AC, dan kalau siang beraktifitas tanpa hambatan. :)

Tapi rasa-rasanya pasti ada yang meminta lain. Mereka adalah para penjaga malam yang memang bekerjanya di malam hari. Kalau ini terjadi, sang cuaca bakalan pusing. Ia harus menuruti yang mana dulu?
Barangkali ini alasan Tuhan menciptakan cuaca untuk berubah-ubah sesuai keinginanNya. Juga menciptakan semua yang ada  di alam ini sesuai keinginanNya. Karena Dia sendiri sudah tau mana yang terbaik bagi makhlukNya. Meski sayangnya, kebaikan itu kerap tak dianggap baik dan adil bagi beberapa orang yang menganggap begitu.

Seperti saya yang merasa diperlakukan tidak adil oleh oknum polisi suatu hari. Awalnya, saya berhenti pada suatu perempatan jalan karena di perempatan tadi itu lampunya lagi merah. Tapi sekalipun merah, kalau saja remnya tidak saya injak, juga motor tidak akan berhenti. Yang menyebabkan sebuah kendaraan berhenti itu bukan karena adanya lampu merah, tapi karna direm. :)

Juga, kalau saya terobos itu lampu, pasti saya sudah dikejar oleh polisi yang tumben-tumbenan malam-malam ada di sana. Sebenarnya bisa saja tidak usah berhenti sih kalau mau, tapi sekali pun digas kenceng, motor saya tidak akan mungkin lolos dari kejaran motor trail polisi itu. Lha wong mungkin, kalau diajak balapan sama bajaj saja, motor saya kalah. Hehe…

Terlepas dari adanya polisi itu, dan ini yang lebih penting, saya juga tidak mau mati konyol. Kok? Iya, saya masih ingin menikmati hidup. Kalau saya nekat menerobos lampu merah itu, bisa jadi saya akan ditabrak oleh kendaraan lain yang melaju dari sisi jalan yang lampunya hijau. Sekali pun tidak mati, tapi kalau kecelakaan itu terjadi, saya pasti menjadi bulan-bulanan orang yang ada di situ meski saya terkapar. Semua kesalahan akan ditujukan ke saya. Jelas, karena memang saya sudah melakukan kesalahan.

Sayangnya, tidak semua orang memiliki kesadaran itu. Atau bahkan meremahkan, sampai pada taraf tak peduli. Atau mungkin, cadangan nyawa mereka ada 11. :) Seseorang akan berhenti saat lampu merah dan ada polisinya itu pasti. Tapi, betapa kita sering melihat orang yang tetap jalan meski lampu sudah merah lantaran di sana tidak ada polisi yang jaga. Iya, kepribadian seseorang bisa dilihat saat di lampu merah yang tidak ada polisinya. :)

Ok, saya pastikan berhenti sebelum melewati garis putih dan marka sebelah kiri. Saya tidak ingin mengambil hak penyeberang jalan, juga tepatnya, saya tidak ingin uang saya terbuang sia-sia hanya karna hal sepele itu. Iya, di sana saat itu lagi ada polisi. Dan kalau melewati garis putih itu biasanya dipanggil menepi untuk ‘diwawancarai’. Di pos polisi itu juga sudah ada orang yang lagi diwawancarai oleh beberapa polisi lain, yang saya tebak, pasti habis melakukan sebuah pelanggaran lalu lintas.

Tak biasanya memang malam-malam begitu di sana ada polisi. Karena hal tak biasanya itu pula yang menarik mata saya untuk tidak melewatkan peristiwa itu. Memang, kebiasaan saya suka mengamati hal-hal yang tidak penting, apalagi penting.:) Saya lihat beberapa polisi yang lagi 'mewawancarai' itu. Apesnya, ada satu oknum polisi di sana yang kelihatannya tidak suka dilihati, tidak suka diperhatikan. Padahal, bukannya orang itu lebih suka diperhatikan? Nanti kalau tidak dikasih perhatian ngambek, katanya “gak perhatian banget sih jadi orang?”, huft. Ok, abaikan.

Kata teman saya, kalau ada polisi yang lagi berdiri di depan pos dekat lampu merah, tidak usah dilihatin, nanti disuruh menepi dan dicari-cari kesalahannya. Dan ternyata benar, oknum polisi yang tidak suka saya perhatikan itu, ternyata malah memperhatikan saya, mendekati saya, minta kenalan, minta nomor telepon, tanya alamat, untuk meminta saya menepikan motor saya.

“Maaf mas, bisa ke sana sebentar.”, katanya kepada saya sambil menunjuk arah yang diminta.
Saya agak bingung, saya lihat ke depan dan samping motor saya, kali-kali memang saya melakukan kesalahan. Tapi rasa-rasanya saya tidak melakukan kesalahan apa-apa. Saya pun bertanya balik, “Kenapa ya pak?”
“Tidak apa-apa mas, mari ikut saya sebentar.”, katanya lagi.
Ok, karena saya pastikan bahwa setiap bepergian, saya bawa surat-surat lengkap, dan motor pun normal tanpa neko-neko, maka dengan modal rasa penasaran kepada oknum polisi itu, saya ikuti saja perintahnya. Sesampai di samping pos, si polisi itu hormat ke saya. Saya pun kasih hormat balik. Bukankah jadi orang itu harus saling menghormati? :) Ah, tapi oknum polisi tersebut, hormat cuma sebagai ritual fisik saja. Yaitu sebatas mengangkat tangan kanan sampai ke dahi, lalu diturunkan kembali.

Kenapa begitu? Saya bertemu polisi sudah berpuluh kali. Polisi yang baik, akan menegur seseorang yang salah dengan baik-baik. Saya tidak ngejudge oknum polisi yang meminta saya menepi itu tidak baik. Saya lanjutkan dulu ceritanya. :) Jadi, waktu selesai saling hormat itu, polisi tadi menanyakan SIM dan STNK seperti biasa.
“Kenapa tadi kamu mematikan lampunya?”, tanya polisi itu kemudian.
“Maaf pak, siapa yang mematikan lampu ya pak?”, tanya saya kembali.
“Tadi, ini lampunya mati kan?”, Tanya dia kepada teman yang ada di sebelahnya.
“Iya.”, jawab temannya singkat.
“Lah, tapi beneran pak saya tidak mematikan lampu motor saya, DEMI ALLAH!!!”, saya melanjutkan pembelaan saya.
“Ya sudah, nanti di pengadilan saja kamu berkata seperti itu.”, katanya.

Dari sini, saya menangkap ada ketidak jelasan. Bahwa benar apa kata teman saya, si oknum polisi tadi tidak suka kalau dilihatin. Bahwa memang oknum polisi yang sensian itu, lagi mencari-cari kesalahan saya. Toh kalau memang si oknum polisi itu baik, sekali pun lampu saya mati, pasti juga akan memberitau agar lampu yang mati itu dihidupkan. Lagian, saya tidak pernah mematikan lampu itu, meski pun di siang hari, apalagi malam hari seperti saat itu. Sebuah pekerjaan konyol kalau mematikan lampu di malam hari. Lagi-lagi tentang keselamatan, bukan hanya nyawa saya, tapi juga orang lain. Lagian saya juga tidak mau digebukin orang banyak gara-gara cuma tidak menyalakan lampu, hehe…

Mulai di situ, saya tidak lagi ngomong untuk sekedar membela diri. Buang-buang energi. Lagi pula, kata ‘demi Allah’ saja berani disanggah, trus mau berkata apa lagi. Tidak ada yang lebih tinggi dari Dia.
"Ya sudah, monggo saja lah pak..", kata saya akhirnya.
Tidak ada gunanya lagi membela pada apa yang menjadi keyakinan saya, sekali pun itu benar. Iya, kebenaran itu tergantung dari mana dan siapa yang melihat. Dan siapa yang kuat, dia yang menang. :)

Seberapa pun ngeyelnya saya saat itu kalau misalkan saya lanjutkan, tidak akan melepaskan saya dari tuduhan tidak menyalakan lampu. Pertama, saya tidak punya saksi. Ini tentu sudah dipirkan oleh para oknum polisi itu. Misalkan ada orang yang melihat pun, tidak menjamin dia mau jadi saksi, apalagi orang lain yang tidak kenal. Betapa banyak antara kita yang tidak ambil pusing dengan suatu kejadian, "daripada gue juga entar kena, mending diem ah."

Jadi kalau saya ngotot pun, tidak ada yang membela. Sama juga seperti saat kita dicopet, dikawanan para pencopet. Kalau kita teriak copet, bisa kita sendiri yang digebugin oleh para kawanan pencopet itu. Ke-dua, jarang sekali bahkan tidak pernah saya melihat dan mendengar cerita ada oknum polisi yang saat menilang seseorang, terus meminta maaf karena kesalahannya.

Tulisan saya pakai kata oknum, karena saya yakin, tidak semua polisi itu seperti apa yang sudah saya ceritakan tadi. Masih banyak polisi-polisi baik di negri ini. Karna, semua profesi, atau apa pun, pasti punya dua sisi yang bertolak-belakang, termasuk dalam diri masing-masing individu. Oknum-oknum itu yang mencoreng nama baik profesi polisi. Kasihan juga para polisi baik, karena terkadang, seseorang menggeneralisakan penilaiannya terhadap suatu profesi.


Setelah saya ‘menyerah’ kepada oknum itu, mereka mengeluarkan surat tilang. Tapi oknum polisi itu tampak ragu saat akan menulis surat tilang itu. Seperti sedang 'memikirkan sesuatu'. Dia diam. Saya diam. Kita saling diam seperti dua orang pasangan lagi ngambekan. Kita introspeksi pada kesalahan masing-masing untuk saling bisa memahami.
“Eee…”, dia seperti mau bilang sesuatu.
“…”, saya pura-pura tidak mendengar.
“…”,
“…”,
Akhirnya ditulis juga itu surat.
“Yang mau disita SIM apa STNK?”, tanya dia.
Sebenarnya sama saja. Toh ke-duanya juga sama-sama berguna saat ada operasi lalu lintas. Juga sama saja, meski salah satu disita, karna kita mendapat surat tilang yang bisa ditunjukkan pada saat operasi apabila memang sebelum waktu sidang ada operasi.
“SIM saja pak.”, jawab saya.
“Ehm, silahkan tanda tangan mas.”,
Saya membaca sekilas surat tilang itu. Di surat tertulis bahwa saya melanggar pasal 293 (1), berkendara tanpa menyalakan lampu utama pada malam hari. Dan tanpa banyak berpikir, saya menanda-tanganinya. Lalu dia menyerahkan surat tilang itu ke saya.
“Mending saya menyerahkan uang saya ke Negara, daripada harus memberi makan para oknum polisi itu.”, pikir saya. Itung-itung bayar pajak. Eh, atau memang jangan-jangan, saat itu sudah waktunya saya harus bayar pajak. Jadi dipaksa dengan cara seperti itu. Iya, mungkin. :)

“Mari pak.”, saya langsung pamit ke oknum polisi itu. Tapi sepertinya dia agak kesal dengan saya. Entah kenapa. Eh, tapi sepertinya saya juga anda pasti tau kenapa sebabnya. :))







6 comments:

  1. hahaha, salut! keren :)
    polisi yang kayak gitu kadang nyari duit emang kurang sehat..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yg keren, yg mau koment :))
      Dia sehat jasmani kok, buktinya masih bisa berdiri dan nyari duit. :)

      Delete
  2. mungkin sebab itu perutnya pada gendut semua

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya sih, yg nilang sy agak gendut orangnya.
      Tp gak semuaaa... Hehe...

      Delete
  3. haha makanya kalo lain kali ketemu oknum polisi di lampu merah jangan sungkan untuk diajak selfie bersama, siapa tau bisa numpang tenar X)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Emm... sarannya bagus juga. Boleh dicoba. :))
      *saya tau nih siapa yg dimaksud* :)

      Delete