4/28/14

Opini tentang 'Opini'

Pola hidup atau bahkan pola pikir orang, antara yang hidup pada masa itu dengan orang yang hidup pada masa sekarang beda. Jelas. Dan, setiap orang yang ditanya alasan kenapa bisa seperti itu sudah pasti berragam sesuai dengan apa yang difikirkan masing-masing. Jika pertanyaan itu tertuju pada saya, jelas saya akan menjawab sesuai versi saya. Bisa beda, juga bisa sama dengan kebanyakan orang. Bisa benar, bahkan malah salah tanpa menyisakan kebenaran sedikitpun. Inilah yang disebut opini.
 
"Eh mas, kenapa sih kamu suka (band) GIGI? ", tanya seorang teman ke saya.
"Ah, alasan pastinya nggak tau juga saya, soalnya suka dari jaman SMA.", jawab saya.
"Ya, karna musiknya, orangnya, ato apa gitu?", lanjutnya yang seakan memang ingin tau, atau sekedar basa-basi biar ada obrolan.
"Karna saya udah suka, maka, kalaupun saya jawab pasti ya alasannya jadi banyak, dan itu pasti bersifat subjektif. ", jawab saya lagi.

Opini memang cenderung bersifat subjektif. Sulit jika ia harus bersifat objektif, kecuali jika memang tidak ada kepentingan apapun. Itu pun, bagi mereka yang membaca terkadang juga tidak percaya bahwa tulisan itu memang objektif. Apalagi tulisan/pemberitaan tentang politik akhir-akhir ini.

Media, yang seharusnya menjadi sumber bagi masyarakat tentang informasi apapun, kini sudah ditumpangi oleh kepentingan-kepentingan individu atau sekelompok golongan dengan membubuhi setiap fakta yang diberitakan dengan suatu opini, yang terkadang kita tidak tau apakah itu fakta atau sebuah opini. Karna memang dengan kepintaran si pembuat berita untuk meyakinkan para konsumen berita dengan (yang sebenarnya) opininya. Banyak sekali alasan yang mendasari dimuatnya kepentingan-kepentingan itu, apalagi untuk kepentingan politik.

Jelas, bagi si media, ia hidup dengan iklan-iklan yang masuk. Iya, itu. Nah, sayangnya, iklan ini masuk ke sejumlah fakta yang diberitakan dengan menambahi atau pun mengurangi fakta itu, dengan tujuan menggiring masyarakat percaya akan hal tadi. Saya ambil contoh konkretnya begini, si A yang punya TV ada koalisi dengan sebuah partai politik untuk mencalonkan diri menjadi presiden. Otomatis, setiap orang yang mau mencalonkan diri menjadi presiden, menjadi lawan/saingan politiknya. Sayangnya, di Indonesia belum pernah sekalipun saya melihat persaingan politik secara sehat. Iya, bukan berarti saingan secara sehat itu dengan lomba lari, badminton, atau dengan bertanding jenis olahraga-olahraga lain. Tapiii... Ah pasti kamu sudah pada tau maksud saya. Banyak dari mereka pada saling menjatuhkan satu sama lain. Salah satu caranya ya dengan menyusupkan opini saat ada pemberitaan para calon lain dengan  opini negatif. Maka, kita sebagai pengkonsumsi berita itu harus benar-benar jeli dalam memilah mana yang fakta, dan mana yang termasuk opini. Mana yang benar-benar baik, dan mana yang pura-pura baik. Mana yang benar-benar bekerja dan mana yang pura-pura bekerja. :)

Ke-abu-abuan pemberitaan yang berlarut-larut ini yang pada akhirnya membuat orang jadi menjemukan sehingga masyarakat menjadi kurang percaya lagi kepada media, bahkan kepada semua hal yang berhubungan dengan politik.

Ah, tapi semoga masih percaya dengan acara yang menampilkan kuliner. Sehingga apa yang dibilang sang koki itu kunyit ya kunyit, bukan asem atau tauge. Karna jika sampai acara itu pun hilang kepercayaan, maka akan terjadi ke-salah kaprahan dimana-mana. Nanti soto dibilang sate, wortel dibilang cabe, hehe...

Sudah ah ngomongin opininya. Karna yang saya tulis ini juga opini. Dan, jangan sampai percaya pada tulisan saya. Kalau sampai anda percaya pada tulisan saya, berarti anda termasuk golongan orang musrik. Percayalah hanya pada Allah SWT, Tuhan semesta Alam, juga Feti Vera, juga saya, juga anda, juga pohon mangga, juga singa, juga semuanya :)

No comments:

Post a Comment