Baru kemarin dipuji, hari ini
sudah membuat ulah lagi. Frea menolak lagi untuk minum obat. Sekuat pikiran,
kami menegosiasinya.
“Ini kalau Frea minum obatnya
baik, nanti di tempat periksa boleh mainan perosotan,” bujuk ibunya.
Di ruang
tunggu RS memang ada tempat khusus mainan anak-anak. Saat periksa pertama, dia
memang senang sekali mainan di sana. Namun dia tetap menolak.
“Kalau ndak mau minum obat, ya
berarti nanti di sana tidak boleh mainan,” lanjut ibunya.
“Mau maen.”
“Boleeeh, ini minum obatnya dulu
yang baik.”
“Ndak mau.”
Karena waktu yang mendesak, dan
agar bisa
segera berangkat dan selesai lebih awal saat kontrol periksa, maka
kami mengeksekusinya lagi. Dia meronta, menangis. Tapi itu sudah mentok kami
lakukan karena kami sudah mengiming-imingi dia beberapa hal dan dia tetap
menolak.
Saat obatnya diminumkan (dengan
posisi penjagalan tentunya), dia semburkan. Alhasil sebagian obatnya mengenai
bajunya dan baju ibunya.
“Karena Frea minum obatnya ndak
baik, nanti di tempat periksa ndak boleh mainan perosotan.”
“Mau maenan, Buu...” rengek Frea.
“Ndak boleh. Ibu kan sudah
bilang: Kalau Frea minum obatnya baik, boleh mainan, kalau tidak, ya ndak
boleh.”
“Maap, ya, Buu...” Frea mencoba
merayu ibunya. Saya geli melihatnya. Saya menahan tawa, demi eksistensi peran.
“Ibu maafkan. Tapi jangan
diulangi lagi.”
“Yaa.”
Dalam perjalanan kami menuju RS,
Frea tak secerewet biasanya. Hanya kadang-kadang saja dia melempar beberapa
pertanyaan ke ibunya. Saya tau, Frea mencoba mencairkan suasana agar dia
mendapat pemakluman atas kejadian tadi. Tampaknya dia merasa bersalah. Kasihan
dan tak tega juga kami melihatnya.
Sesampai di RS, ternyata antrean
sudah panjang. Tak seperti saat periksa sebelumnya yang hanya menunggu
sebentar. Mau tidak mau harus menunggu giliran dipanggil. Dalam masa penantian
itu, setelah melakukan beberapa aktifitas, dia menarik tangan saya.
“Te tana, yuk, Pak.” Ajaknya.
“Ke mana?” Saya mengikuti saja
laju jalan Frea yang menarik tangan saya dan mulai tau ke mana arah yang
ditujunya.
Karena ingat larangan yang
diberikan ibunya sebagai akibat dari perbuatannya, saya lantas menghentikannya.
Bagaimana pun kami harus terlihat satu komando dan konsekuen atas apa yang
sudah disepakati. “Frea tadi kan ndak dibolehkan Ibu main di perosotan, kan?”
Dia tampak pura-pura tak mendengar pertanyaan saya, dan terus menarik tangan
saya. Saya mengulang lagi pertanyaan tadi. Frea diam. Saya menawarkan
menggendongnya di punggung agar tak begitu sedih. Dia mau. dan malah meminta
saya lari. Dan kami ber-dua menjadi pusat perhatian beberapa orang di ruang
tunggu. :/
“Te tana, Pak. Te lift.”
Saya menuruti ajakannya.
Basa-basi sebentar. Masih dalam gendongan saya, dia mengajak saya jalan lagi ke
arah lain, menunjuk dengan tangannya. Katanya dia mau nimbang. Saya nurut.
Namun sesampai di tempat nimbang yang di tuju, Frea malah mengajak saya jalan
lurus lagi, di mana di sana adalah area bermain anak-anak berada. Asem, saya
kena (akalnya) lagi.
No comments:
Post a Comment