8/5/19

Kontrol


Baru kemarin dipuji, hari ini sudah membuat ulah lagi. Frea menolak lagi untuk minum obat. Sekuat pikiran, kami menegosiasinya.

“Ini kalau Frea minum obatnya baik, nanti di tempat periksa boleh mainan perosotan,” bujuk ibunya. 

Di ruang tunggu RS memang ada tempat khusus mainan anak-anak. Saat periksa pertama, dia memang senang sekali mainan di sana. Namun dia tetap menolak.

“Kalau ndak mau minum obat, ya berarti nanti di sana tidak boleh mainan,” lanjut ibunya.

“Mau maen.”

“Boleeeh, ini minum obatnya dulu yang baik.”

“Ndak mau.”

Karena waktu yang mendesak, dan agar bisa
segera berangkat dan selesai lebih awal saat kontrol periksa, maka kami mengeksekusinya lagi. Dia meronta, menangis. Tapi itu sudah mentok kami lakukan karena kami sudah mengiming-imingi dia beberapa hal dan dia tetap menolak.

Saat obatnya diminumkan (dengan posisi penjagalan tentunya), dia semburkan. Alhasil sebagian obatnya mengenai bajunya dan baju ibunya.

“Karena Frea minum obatnya ndak baik, nanti di tempat periksa ndak boleh mainan perosotan.”

“Mau maenan, Buu...” rengek Frea.

“Ndak boleh. Ibu kan sudah bilang: Kalau Frea minum obatnya baik, boleh mainan, kalau tidak, ya ndak boleh.”

“Maap, ya, Buu...” Frea mencoba merayu ibunya. Saya geli melihatnya. Saya menahan tawa, demi eksistensi peran.

“Ibu maafkan. Tapi jangan diulangi lagi.”

“Yaa.”

Dalam perjalanan kami menuju RS, Frea tak secerewet biasanya. Hanya kadang-kadang saja dia melempar beberapa pertanyaan ke ibunya. Saya tau, Frea mencoba mencairkan suasana agar dia mendapat pemakluman atas kejadian tadi. Tampaknya dia merasa bersalah. Kasihan dan tak tega juga kami melihatnya.

Sesampai di RS, ternyata antrean sudah panjang. Tak seperti saat periksa sebelumnya yang hanya menunggu sebentar. Mau tidak mau harus menunggu giliran dipanggil. Dalam masa penantian itu, setelah melakukan beberapa aktifitas, dia menarik tangan saya.

“Te tana, yuk, Pak.” Ajaknya.

“Ke mana?” Saya mengikuti saja laju jalan Frea yang menarik tangan saya dan mulai tau ke mana arah yang ditujunya.

Karena ingat larangan yang diberikan ibunya sebagai akibat dari perbuatannya, saya lantas menghentikannya. Bagaimana pun kami harus terlihat satu komando dan konsekuen atas apa yang sudah disepakati. “Frea tadi kan ndak dibolehkan Ibu main di perosotan, kan?” Dia tampak pura-pura tak mendengar pertanyaan saya, dan terus menarik tangan saya. Saya mengulang lagi pertanyaan tadi. Frea diam. Saya menawarkan menggendongnya di punggung agar tak begitu sedih. Dia mau. dan malah meminta saya lari. Dan kami ber-dua menjadi pusat perhatian beberapa orang di ruang tunggu. :/

“Te tana, Pak. Te lift.”

Saya menuruti ajakannya. Basa-basi sebentar. Masih dalam gendongan saya, dia mengajak saya jalan lagi ke arah lain, menunjuk dengan tangannya. Katanya dia mau nimbang. Saya nurut. Namun sesampai di tempat nimbang yang di tuju, Frea malah mengajak saya jalan lurus lagi, di mana di sana adalah area bermain anak-anak berada. Asem, saya kena (akalnya) lagi.

Tapi saya segera balik badan lagi. Maaf, Fre, kami harus mengajarkan kamu tentang konsekuensi dan kedisiplinan. (catatan 12 Juli 2019)

No comments:

Post a Comment