8/5/19

Sapi



Memelihara hewan di rumah, katanya bisa membentuk anak menjadi lebih peka rasa empatinya. Tentunya Ini baik untuk perkembangan Frea. Namun kami tak punya hewan piaraan satu pun. Tapi kami tetap harus mengasah kepekaan Frea. Maka kami mengakalinya dengan membelikan dia mainan boneka yang berbentuk hewan. Beberapa boneka hewan sudah jadi temannya. Panda, kelinci, gajah, koala, anjing, dan beberapa boneka hewan lain. Tentunya boneka hewan-hewan itu kami beli satu per satu sesuai budget.

Setiap hari kami ajak mengobrol mereka bersama Frea seolah boneka hewan-hewan itu benar-benar benyawa. Tanya nama, nawari makan, memintanya tidur, serta mengobrol hal-hal yang spontan terlintas saat itu. Tentunya obrolan yang baik yang kami contohkan sehingga empati Frea terbentuk.

Dampak lainnya, ternyata Frea menjadi anak yang suka bermain peran. Imajinasinya bermacam-macam. Saya selalu geli setiap melihat Frea mengajak teman-temannya itu mengobrol. Selalu saja ada hal lucu dari sana.

Saat awal-awal punya sapi, dia

Om Wignyo



Perawakannya tinggi-besar, hidungnya mancung dengan rambut klimis lurus. Terus terang saya tak begitu mengenal Om saya itu karena intensitas ketemu saya dengannya yang memang hanya—paling setahun sekali. Itu pun hanya sehari dua hari. Beberapa kali ngobrol saja dengan beliau. Namun dari pertemuan-pertemuan itu, ditambah dengan cerita dari saudara-saudara saya yang lain, secuil hal saya bisa menggambarkan bagaimana sifat beliau.

Penyabar adalah sifat pertama yang bisa saya tangkap. Dari caranya berbicara, bagaimana berkomunikasi dengan putri-putri dan istrinya, saya bisa merasakan begitu sabarnya beliau. Yang menguatkan lagi, beliau adalah orang yang amat sayang dan menyukai anak kecil. Ya, semua anak kecil, bukan hanya anaknya sendiri. Terbukti saat setiap kali anak kecil menangis dan digendong beliau, selalu bisa tenang kembali.

Pernah suatu kali, keponakan saya

Kontrol


Baru kemarin dipuji, hari ini sudah membuat ulah lagi. Frea menolak lagi untuk minum obat. Sekuat pikiran, kami menegosiasinya.

“Ini kalau Frea minum obatnya baik, nanti di tempat periksa boleh mainan perosotan,” bujuk ibunya. 

Di ruang tunggu RS memang ada tempat khusus mainan anak-anak. Saat periksa pertama, dia memang senang sekali mainan di sana. Namun dia tetap menolak.

“Kalau ndak mau minum obat, ya berarti nanti di sana tidak boleh mainan,” lanjut ibunya.

“Mau maen.”

“Boleeeh, ini minum obatnya dulu yang baik.”

“Ndak mau.”

Karena waktu yang mendesak, dan agar bisa

Sandal


Kali pertama saya datang di masjid ini, heran juga melihat barisan sandal dengan posisi terbalik seperti itu. Ada juga sandal yang posisinya seperti pada umumnya posisi sandal, namun hanya beberapa saja.

Saat itu saya hanya menduga, mereka yang posisi sandalnya sudah dibalik, adalah orang-orang yang sudah setiap hari datang ke sana, sementara yang belum dibalik, adalah orang yang baru kali pertama datang. Seperti saya saat itu.

Dan nyatanya dugaan saya benar. Hanya saja, mereka yang terburu-buru saat melepas sandal (entah karena memburu shalat jamaah karena sudah tertinggal, atau karena urusan lain seperti kebelet pipis, dll) meski sudah berkali-kali datang, letak sandalnya masih banyak juga yang tidak rapi. Dan saat itu saya anggap kejadian biasa saja.

Ya, biasa saja. Karena banyak sandal yang posisinya sudah dibalik pun bagi saya sudah luar biasa. Coba perhatikan, apakah posisi sandal di masjid dekat Anda ada yang seperti itu?

Yang membuat saya agak kaget adalah ketika sholat usai, dan saya hendak memakai sandal saya krmbali, semua sandal dan sepatu yang ada di sana tertata dengan rapi tanpa ada yang berserakan satu pun. Sudah jelas, itu pasti

Minum Obat



Mulai hari Sabtu siang (6 Juli 2019) suhu tubuh Frea naik turun. Hari Seninnya kami putuskan membawanya ke dokter keluarga karena suhu tubuhnya yang masih naik turun meski volume minum Frea sudah ditambah. Dokternya meminta kami untuk mengecekkan lab darah Frea. Dan malam itu juga hasilnya saya konsultasikan.

Hb-nya turun dan ada gejala tipes katanya. Maka kemudian Frea dibuatkan rujukan ke dokter spesialis anak untuk penanganan lanjutan. Esoknya kami membawa Frea ke dokter anak dengan menunjukkan hasil lab. Frea diperiksa. Ada radang juga di tenggorokannya. Untungnya tidak sampai rawat inap. Dokter hanya memberikan resep obat dan meminta kami kembali 3 hari lagi untuk kontrol.

Begitu terima obat, saya langsung bingung. Apa yang ada di pikiran saya adalah bagaimana meminumkan obat-obat itu ke Frea? Saya sudah pernah cerita di postingan sebelumnya kalau Frea tipe anak yang susah sekali untuk meminum obat, bahkan ketika obat itu sudah ditelan sampai perut, dia bisa memuntahkannya. Saya benar-benar kepikiran. Padahal obat itu ada yang harus dihabiskan agar bisa sembuh.

Benar. Kekhawatiran saya  terjadi saat kali

Baik 2



Membiasakan baik dan benar ke anak (meski saya—orang tuanya tak baik-baik dan tak benar-benar amat) adalah suatu keharusan dan kebiasaan yang kami terapkan ke Frea sejak dia lahir. Pun saat dia belum bisa apa-apa. Misalkan saat menyuapi dia makan waktu bayi, kami memintanya berdoa terlebih dulu meski kami—sebagai orang tua—juga  yang mengucapkan tentunya.

Kami pun selalu mengajaknya bicara sejak masih bayi setiap hari, sampai sekarang. Sesibuk apa pun, setiap hari kami harus selalu berkomunikasi dengan Frea. Kami ingin agar Frea selalu dekat dengan orang tuanya, khususnya saya, karena kalau dengan ibunya, sudah otomatis nempel. Saya tak ingin menjadi bapak yang tak dikenali anaknya sendiri.

Barangkali banyak orang yang menganggap bayi hanyalah bayi. Anak kecil yang belum tau apa-apa. Saya malah sebaliknya. Terkadang saya berfikir bahwa bayilah yang tau tentang segala hal dalam otaknya. Tau tentang masing-masing sifat orang, tau nama semua benda tanpa ada orang lain yang memberi tau, intinya tau segalanya. Hanya saja dia belum diberi kemampuan untuk bicara (kalau saya bilang:

Ngobrol



Kemarin malam (2 Juli 2019) Frea ke dokter gigi lagi. Misi ke-dua penambalan giginya. Tak seperti biasanya, sore itu pasiennya lumayan banyak. Frea mendapat antrean ke 10. Akhirnya kami pulang dulu untuk sholat maghrib di rumah. Jam 7 kurang, kami kembali ke sana.

Di ruang tunggu, sudah ada 5 orang. Frea adalah satu-satunya anak kecil di sana. Beberapa orang tertarik pada Frea karena sampai di sana Frea tak bisa diam. Dia menanyakan beberapa hal ke saya dan ibunya. Mungkin juga karena pada dasarnya mereka memang suka pada anak kecil.

“Umur berapa, Mas?” tanya seorang ibu yanga da di sana.

Tadinya mau saya jawab umur saya, tapi tidak jadi. Tak mungkin dia tanya umur saya. Pasti maksud dari pertanyaannya menanyakan usia Frea. “Mau 3 tahun, Bu. Dua bulan lagi.”

“Oh. Tapi kok ngomongnya pinter banget, ya. Mudhengan anaknya. Kaya cah gedhe.” Lanjut si ibu tadi.

“Oh, iya dong, Bu. Siapa dulu bapaknya.” Jawaban itu saya