12/31/19

Takut

Mungkin ini pernah saya singgung di tulisan saya yang lain. Bahwa kami sebagai orang tua tak pernah memberitau ke Frea apa itu rasa takut dan hal negatif lain. Karena kami yakin, tanpa diberi tau pun, setiap orang akan mempunyai rasa takut terhadap suatu hal. Sayangnya banyak orang tua yang malah menakut-nakuti anaknya (atau bukan) sebagai senjata agar Si anak mau melakukan perintah orang tua tersebut, yang tanpa orang tua sadari, ketakutan itu bisa tertanam di otak anak.

Lambat laun, Frea juga mengenal/tau rasa takut. Biasanya dia tau dari lingkungannya. Ketika bermain dengan saudara-saudaranya, bisa juga dari peristiwa yang ia tonton di TV. Makanya terkadang kami kaget, "Kok, dia tau takut dengan benda ini, ya? Kok, dia takut dengan barang itu, ya?" karena kami merasa tak pernah memberitaunya. Paling saya dan ibunya Frea saling pandang, lalu makin dalam, makin dalam, kemudian menari sambil lari berkejar-kejaran di taman bunga. Enggak, WOY!!

Saya ingat, pertama kali Frea takut sesuatu adalah patung manekin. Saat itu, kami ada di sebuah toko baju, di sana ketika dia melihat manekin itu, langsung memalingkan pandangannya ke arah lain.

"Kenapa, Fre?" Tanya saya.

"Ada

4th Anniversary


Hari ini, empat tahun sudah saya menjalani kehidupan berumah tangga. Usia yang bisa dibilang baru sebentar dibanding dengan usia pernikahan mereka yang menikah lebih dulu dari kami. Tetapi, usia itu juga bisa dirasa lama oleh mereka yang tidak bisa menikmati kehidupan pasca pernikahannya.

Tak memungkiri, masalah dalam berumah tangga tentu ada, tapi tak lantas itu menjadi pemicu untuk tidak bisa menikmati kebahagiaan yang sudah diberikan-Nya. Masalah-masalah itu juga menjadikan kami sadar, bahwa hidup memang begitu, tak selalu senang terus, apalagi susah terus. Itu juga menunjukkan kalau kami berarti masih manusia. Masih punya hati untuk merasa, masih punya otak untuk berpikir.

Yang jelas, kami selalu menyembunyikan masalah-masalah yang ada, untuk dikonsumsi orang lain. Bukan kami orang yang sangat taat--mematuhi perintah agama, bahwa istri adalah pakaian suami, pun suami sebagai pakaian istri, yang berarti ke-duanya harus sama-sama saling menjaga aib pasangannya, tapi kami tidak ingin orang lain tau dan ikut membebaninya dengan merasakan masalah-masalah yang kami hadapi. Terlebih orang tua kami. Biarlah mereka tau, bahwa kehidupan rumah tangga kami

'Barang Baru'

Seiring bertumbuhnya Frea, beberapa bajunya tampak terlihat mengecil. Melihat itu, ibunya mengajaknya ke toko dan berniat membelikan baju untuk ganti. Frea sendiri sebenarnya belum ngeh apakah bajunya sudah terlalu kecil untuk dipakai atau tidak. Bahkan dia tak peduli apakah baju yang dipakai, baru atau tidak. Kami memang tak mengenalkan mana baju baru, mana baju lama. Namun seiring bertambah pengetahuannya, dia mulai ngeh tentang apa itu 'sesuatu yang baru'. Itu pun biasanya dikenalkan oleh lingkungan.

Kenapa tak mengenalkan (memberitau) tentang sesuatu yang baru?
Pertama, pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang suka pamer. Saya pun dengan sadar atau tidak, masih sering melakukannya. Hanya saja tingkat dan 'sesuatu' yang dipamerkan itu ada perbedaan di tiap masanya (pamer ini tak melulu soal harta keduniawian dan sejenisnya, ya.) Nah, kebiasaan orang jika punya sesuatu yang baru adalah pamer. Jelas sebagai orang tua (meski belum berperilaku benar) bagaimanapun harus mendidik anak agar menjadi anak yang shalih/shalihah, kan? Kami jelas ingin mempunyai anak yang berperilaku sesuai dengan norma dan ajaran agama yang kami anut.

Ke-dua, kebanyakan

Epistaksis

Sejujurnya, saya termasuk orang yang takut ketika melihat darah. Agak pengecualian untuk darah yang keluar dari tubuh nyamuk setelah digeprek, ya.
Hanya sekadar mendengarkan cerita tentang kecelakaan yang menimpa seseorang pun saya merinding. Apalagi jika yang diceritakan sampai menyebabkan cacat fisik, saya bisa gemetar. Padahal saya termasuk orang yang agak sering juga berhubungan dengan darah.

Semenjak bapak sakit dan diharuskan untuk cuci darah, mau tidak mau saya melihat bagaimana darah bapak keluar-masuk dari tubuhnya ke mesin pencuci darah. Bapak pun harus transfusi setiap HB-nya turun. Dan itu mengharuskan saya dan adik-adik saya secara bergantian mengambilkan darah yang sama dengan darah bapak ke PMI. Mulialah mereka para pendonor. Saya tidak membayangkan jika tidak ada orang yang mendonorkan darahnya. Saya tentu berhutang banyak dengannya. Dan hanya doa yang bisa saya ucap untuk mereka para pendonor, semoga selalu diberikan kesahatan, keberkahan, serta kemuliaan hidup dunia-akhirat. Aamiin ...

Pasca persalinan istri, beberapa hari juga mengharuskan saya bersentuhan langsung dengan darah. Lalu saat saya jatuh, bagian lutut serta tangan saya luka yang kalau dirasakan, lumayan juga rasa nyerinya.

Tiga hari lalu, saya panik ketika ibunya Frea bilang kalau Frea

Ah, Teori ...

Semakin banyak dan gampang kita menemukan sebuah teori. Tak seperti dulu, di mana sumber ilmu satu-satunya adalah media cetak (dalam arti yang sebenarnya). Media yang ada tulisan di dalamnya. Buku, koran, dan majalah adalah media lazim yang bisa diakses oleh banyak orang.

Dulu mudah saja membedakan mana orang pintar dan tidak. Indikatornya cukup melihat sebagaimana sering ia berkutat dengan media cetak-media cetak itu (termasuk kitab di dalamnya). Sekarang, kita tak bisa dengan mudah memfonis apakah Si A pintar, Si B tidak, dsb. Sangkaan orang terhadap keilmuan seseorang di era digital seperti sekarang akan abu-abu. Bisa-bisa, ketika kita menilai tentang ketidaktauan seseorang, kita justru diberi beribu teori dan dalil yang bahkan sebelumnya tidak pernah kita dengar oleh orang tersebut. Kuapok!

Ya, yang makin mudah sekarang adalah melihat bermacam teori (dalam bentuk argumen) yang ngglathak di media online dari berbagai sumber. Muncul satu teori, dibantah oleh teori lain, padahal teori pertama belum kita telan seluruhnya. Lalu teori ke-dua

Melankolis

Betapa rasa simpati dan empati saya sudah terbentuk dari kecil. Rasa yang secara umum cenderung ke sifat positif ini menempel pada tubuh saya bahkan ketika saya belum genap berusia 5 tahun. Saya bisa menyimpulkan begitu, karena ibu saya wafat saat saya berusia 5,5 tahun. Tapi setelah dirasakan, sifat yang secara umum positif pun ada dampak negatifnya, percayalah.

Kurang lebih kejadiannya begini: Ibu adalah seorang guru SD. Jarak dari rumah dinas ke sekolahnya sekira 1 sampai 2 kilometer. Satu-satunya alat transportasi yang dipunyai keluarga kami saat itu adalah sepeda. Ibu memakainya setiap hari dengan memboncengkan saya di belakang. Yang tidak saya ingat adalah sejak umur berapa saya ikut ibu ke sekolah. Ya, jadi saya lebih dulu SD daripada TK. Dan saya juga ingat, saya mengikuti pelajaran di kelas yang ibu ajar yang kebetulan kelas-kelas rendah (kalau tidak kelas 2, ya kelas 1, yang ini saya lupa). Makanya sebelum TK, saya sudah bisa membaca dan menulis. Yang seru, saat tiba waktu pulang. Setelah berdoa bersama, kami duduk anteng-antengan. Maksudnya, baris mana yang paling tenang, ia yang dipulangkan lebih dulu. Padahal setelah pulang, ya sama saja saya pulang bareng ibu. 🤣

Suatu hari, saat masih di

Ngaji

Kemarin Frea kami daftarkan mengaji di sebuah TPQ, dan hari ini adalah hari pertamanya memulai mengaji. Ini adalah bentuk ikhtiar yang kami lakukan sebagai orang tuanya. Bentuk tanggung jawab atas apa yang telah dititipkan dan diamanahkan memiliki Frea.

Tiap kali Frea diajari ngaji Ibunya, meski sambil bermain, dia tak pernah fokus dan lama. Selalu saja mencari mainan lain. Mungkin karena sudah biasa bermain bersama. Kalau boleh jujur, ada rasa ketakutan dalam diri saya jika sampai tak bisa mendidiknya. Tapi semoga itu hanya sebatas ketakutan saja. Tak lebih. Mudahkan dalam memberikan pendidikan untuknya ya Rab.

Anak bisa mengaji dan rajin beribadah, adalah harapan semua orang tua muslim. Tak luput kami. Selain faktor utamanya tentu bentuk tanggung jawab kepadaNya, juga apabila boleh meminta, kelak doa anaklah yang hanya kami harapkan. Dan itu adalah bonusnya. Saya sadar, saya tak boleh menuntut itu. Tapi saya rasa tak ada yang salah dari berharap dan berdoa.

Reaksi pertama saat Frea diberi tau bahwa dia akan ke tempat ngaji:
"Di tana

Cerewet

Sering sekali Frea menggumam atau bersenandung sesuka dia. Cukup banyak misteri senandungnya yang sampai saat ini belum terpecahkan oleh saya atau ibunya, sebenarnya lagu apa/siapa yang dia nyanyikan? Bisa jadi, itu memang senandung yang dia ciptakan.

Tak cuma lagu, juga kata-kata. Beberapa kosa kata yang dia ucapkan (entah saat ngobrol dengan saya/ibunya atau menggumam sendiri saat bermain) belum kami ketaui. Sialnya, kalau ditanya dia barusan ngomong apa, tidak mau mengulanginya lagi. Atau mengulang sekali lalu tertawa. Seperti sengaja menggoda. Dia memang suka sekali bercerita. Sehingga sudah banyak kosa kata yang dia ucapkan. Dan beberapa di antaranya (karena pengucapannya belum sempurna), kami tidak tau.

Kalau masalah senandung, tiap kali dia mengantuk selalu bersenandung (dan ini kini menjadi tanda bahwa jika sudah begitu, berarti dia sudah mengantuk). Agak berisik memang. Untungnya kami suka dengan kecerewetannya.

Kemampuannya bernyanyi sudah bisa diketahui bahkan sebelum dia genap berusia dua tahun. Di postingan yang sudah cukup lama, dia terlihat sangat fasih menyanyikan lagu Ya lal wathan, padahal saat itu baru dua tahun. Pada usia itu, Frea sudah

Tanya

Menjadi orang tua harus siap menjawab setiap pertanyaan yang diajukan anak. Jika pertanyaannya lazim dan sudah menjadi kebiasaan yang dialami/dilakukan, saya rasa tak ada masalah. Yang menjadi sedikit masalah adalah ketika pertanyaan anak--yang seringnya secara spontan dan terucap begitu saja-- tak biasa kita alami/lakukan, atau bahkan baru kita dengar.

Sebenarnya apa pun yang menjadi jawaban orang tua, si anak akan menerima saja, dan tak akan menuntut jawaban lebih. Ini yang menjadi pemakluman orang tua yang malas mencari jawaban dan tak bertanggung jawab atas jawaban yang diberikan. Padahal terkadang apa yang kita anggap sepele, bisa menjadi perilaku salah yang kelak dilakukan anak.

Saya yakin, banyak sekali orang tua yang ketika mendapat pertanyaan 'sulit' dari anak, menjawab sekenanya saja. Saya pun mungkin juga pernah melakukannya.
"Ah, yang penting anak diam. Toh anak pasti percaya-percaya saja," begitu pikir kita-- sebagai orang tua. Ada yang lebih parah. Terkadang ada

Kangen

Tiga hari Frea tidak bertemu saya. Sejak Kamis, saya di Solo dan Sabtu baru kembali. Sampai di rumah, pintu tertutup, namun gorden jendela terbuka, sehingga dari luar masih bisa melihat bagian dalam. Dan tepat saat motor saya sampai di depan rumah, terlihat di seberang jendela Frea sedang asyik bermain sendirian di kursi. Dia langsung menengok ke arah luar begitu mendengar deru suara motor berhenti di depan rumah. Tampak dia mengamati dengan perlahan sosok yang masih berada di atas motor itu. Begitu helm dan masker saya buka, raut wajahnya berubah sedikit kaget dan langsung menuju pintu untuk kemudian membukanya dan lari ke arah saya sambil teriak: "BAPAAAAK..."
Saya tak kuasa untuk tidak berbalik menyambutnya. Dengan langkah agak tergesa, saya pun teriak: "SAYAAAANG..." lalu memeluknya erat dan menciumnya.

Tak lama kejadian itu berlangsung, dia meminta turun dari gendongan saya lalu berlari ke dalam rumah mengabarkan kepada ibunya, "Bapak pulang, Bapak pulang." Wajahnya tampak sumringah. Saya tersenyum geli melihatnya.

Agar setiap kepergian saya diharapkan kepulangannya oleh Frea, jika pergi

Pakdhe Roni

Begitu mendapat kabar Pakdhe (kakak dari Ibu) terbaring lemah di RS, hati sudah tak karuan. Semenjak kepulangan Bapak, saya suka parno dengan hal-hal yang datang tak mengenakkan. Sudah sekuat hati dan pikiran untuk tidak memikirkan hal-hal yang tak diinginkan, tapi rasa parno itu tetap datang. Dan hal terakhir yang saya lakukan jika sudah seperti itu adalah berdoa dengan hal yang baik-baik dan meminta untuk kesembuhan Pakdhe tentunya. Bahwa tak ada hal yang tak atas kehendakNya. Berdoa dengan penuh kesadaran bahwa Dialah Sang Maha Penguasa, yang mengendalikan setiap peristiwa yang terjadi di alam ini.

Adik menelpon saya Rabu malam, dan memberi kabar bahwa kondisi Pakdhe menurun. Tak hanya saya yang ditelponnya, tapi ke semua anggota keluarga. Dia memberi kabar dan meminta doa untuk kesembuhan Pakdhe. Esok paginya saya menuju ke sana.


Kalau diminta menyebutkan tiga

Makan

Perihal makan, Frea termasuk anak yang gampang gampang susah. Suatu saat begitu lahapnya saat disuapkan makanan ke mulutnya, namun di saat lain, sudah dibujuk dengan berbagai cara pun dia tetap menolak. Tapi bagaimana pun, juga demi kesehatannya, mau tak mau harus mencari cara agar asupan makanan bisa tetap masuk di tubuhnya.

Sambil bermain, tentu alternatif utama yang kami lakukan, selain membolehkannya makan sambil melihat HP. Meskipun ke-duanya bukanlah alternatif cara yang kita sepakati seperti yang sudah saya tuliskan di tulisan-tulisan sebelumnya.

Banyak faktor kenapa anak terkadang enggan makan. Kemonotonan adalah faktor yang utama. Faktor keajegan ini juga tak melulu soal jenis dan menu makanannya saja, ia juga termasuk tempat. Ya, tempat. Kalau dipikir-pikir, ibu dan Titi-nya Frea selalu memasakkan Frea dengan menu yang gonta-ganti setiap harinya, tapi ya tetap saja ada waktu di mana dia enggan makan. Maka (dengan terpaksa) kami mengajak Frea keluar untuk main sepedaan sambil makan, atau terkadang juga kami makan di luar. Bukan, bukan di restoran atau jajan di luar, tapi kami membawakan bekal Frea untuk dimakan di taman, masjid, atau tempat terbuka lain. Nyatanya, di tempat-tempat 'baru' itu, Frea selalu habis banyak.

Pernah suatu waktu

Posyandu

Selumbari, Frea Posyandu. Tentu diantar Titi-nya seperti yang sudah-sudah. Jadwalnya sebulan sekali. Kini setiap diberi tau kalau akan Posyandu, Frea menjawab dengan penuh semangat dan selalu menceritakan kejadian di Posyandu bulan sebelumnya.

"Frea nanti Posyandu. Yang pinter yaa."

"Yaa," jawabnya penuh semangat. "Peya pintel lho, Pak. Peya ndak nanis, ditimbang," sambungnya. Maksudnya saat ditimbang, sekarang dia tidak nangis lagi.

"Waah, pinter yaa," jawab saya.


Dulu saat usia 2 tahunan, setiap kali ditimbang memang sering menangis. Mungkin karena orang yang menimbangkan tidak setiap hari ditemuinya. Masa-masa di mana dia masih mengenali lingkungan. Saya pernah menemaninya ke Posyandu, awalnya dia bilang iya-iya kalau ndak akan nangis saat ditimbang. Tapi begitu sampai gilirannya, meski saya mencoba mengalihkan perhatiannya, tangis pun tetap pecah tak terbendung. .

Sepulang kerja, saya diceritakan

Malmingan

Sudah lumayan lama kami tak keluar menikmati suasana malam di 'daerah bawah'. "Daerah Semarang", kata orang-orang di kampung kami tinggal menyebutnya. Saya yang bukan warga asli Semarang aneh mendengarnya. Kenapa daerah Semarang bawah saja yang disebut Semarang? Bukankah Banyumanik juga bagian dari Semarang?

Banyak alasan kenapa kami tak kunjung melakukannya. Hal utama tentu karna alasan Frea. Udara malam tentu tak baik bagi kesehatannya. Apalagi untuk seusianya yang masih belia. Juga jam tidurnya yang kami biasakan maksimal jam 20.00 harus sudah berada di kamar. Di samping itu juga jarak tempuh yang lumayan jauh jika dari rumah kami.

Sebenarnya sudah lama ibunya Frea ingin jalan-jalan ke daerah kota itu. Entah alasan apa yang membuat dia begitu menginginkannya. Barangkali hanya ingin menikmati suasana malam kota yang saya akui semakin

Protes

Setiap hari di mana saya pulang malam, esoknya selalu ada sikap Frea yang agak sinis ke saya. Misalnya seperti hari Jumat lalu, sesaat setelah ibunya pamit untuk berangkat kerja, Frea langsung bertanya ke saya yang saat itu ada di sampingnya, “Tok, Bapak ndak telja? Telja aja tana. Peya di lumah ama Titi.”

Mendengar ucapan Frea begitu, sejujurnya saya trenyuh, sedih. Bagaimana tidak, seorang Bapak diusir oleh anaknya sendiri. Seorang Bapak yang tak diinginkan kehadirannya oleh anaknya sendiri. Tapi juga senang dan geli karena anak berusia 3 tahun sudah bisa menyampaikan rasa ketidak-sukaannya terhadap suatu hal.

Itu juga ternyata berlaku untuk ibunya. Saat tau

E-Crack

Masih jelas diingatan saya ketika saya bertemu dengan beliau. Aura kebaikan dan ketulusan yang paling saya tangkap. Senyum lebar selalu beliau berikan ke siapa pun yang beliau temui. Senyum yang memberi kesan keakraban juga kedamaian. Bahagia tentu yang saya rasakan dan mungkin bagi orang yang berjumpa dengan beliau saat itu.

Bahwa kesedihan tentu masih melekat ketika pasangan hidup belum lama tiada, sudah tampak samar dengan senyum merekah yang diberikan. Senyum tulus sebagai bentuk rasa cinta dan hormat kepada orang-orang yang ditemuinya, hingga pantas jika rasa hormat dan cinta itu kembali kepadanya. Dengan tulus. Oleh berjuta orang di semua penjuru dunia.

Barangkali rasa

3M



Ibunya pulang membawa sebuah dus besar, diantar temannya. Saya dan Frea sedang bermain. Saya tengkurep di balik tempat duduk yang ada di teras rumah, sehingga jika dari arah depan tidak terlihat. Dan Frea berdiri di atas punggung saya sambil pegangan tempat duduk tentunya agar tak terjatuh.

Saya bilang ke Frea, "Bapak ngumpet ya. Biar nanti Ibu ndak lihat." Frea cekikikan. Apalagi pas ibunya datang, dia ngakak.

Sebenarnya itu adalah taktik saya yang hari ini terasa sangat pegal di bagian punggung. Taktik di mana saya bisa bermain dengan Frea sambil rebahan, juga ternyata Frea sudah bisa membantu saya memijit punggung dengan cara menginjaknya. Keuntungan dobel bagi saya.

"Apa itu, Bu?" tanya Frea sambil mendekat dan mencoba membuka kardusnya.

"Eh, bentar-bentar. Hati-hati yaa. Ini kue buat Frea. Selamat ulang tahun," ucap ibunya sambil mencegah tangan Frea yang akan memegang kardus. "Frea mandi dulu sana, nanti potong kuenya."

"Iyaa... Mandi tama Bapak. Yuk!" ajak Frea penuh