7/17/19

Putri Malu



Terkadang saya sering mempertanyakan tentang nama suatu benda kenapa benda itu dinamai begitu. Kenapa teko dinamai teko? Kenapa keadaan gelap tanpa sinar matahari dinamai malam? Dan masih banyak pertanyaan lagi.

Atau barangkali Allah-lah yang menamainya secara langsung dengan perantara nabi, rasul, dan para waliNya? Mungkin.

Untung manusia diciptakan sebagai makhluk yang mudah menerima. Jika tidak, maka semua akan menjadi ruwet. Menjadi masalah yang tak berkesudahan. Adakah manusia-manusia ruwet itu?

Mereka para pemikir adalah orang-orang dengan pemikiran yang demikian ruwet. Semua hal dipikirkannya sedemikian hingga menjadi ruwet, meski hal sederhana sekalipun. Namun terkadang juga menjadikan hal-hal yang kita anggap ruwet, menjadi sederhana.

Saya mengenal putri malu ketika ia sudah dinamai putri malu oleh si pemberi nama, dan sudah diamini oleh banyak orang. Maka saya juga tinggal mengamininya saja. Toh ia bukan dosa.

Bapak sayalah orang yang telah mengenalkan saya dengan putri malu. Dengan penuh antusias
Bapak mengenalkan tanaman 'janggal' itu. Ekspresi Bapak yang 'wah', menjadikan perkenalan saya dengan tanaman 'aneh' itu riang-gembira. Aneh karna sebuah tanaman yang ketika disentuh, bisa gerak. Bapak berhasil membuat saya senang.

Belum lama, saat bersama Frea, saya melihat tanaman itu di pinggiran taman. Ingatan saya kembali ke masa-- di mana Bapak mengenalkan saya pada tanaman tersebut.

Tak ingin menyia-nyiakan waktu, saya mengajak Frea mendekati tanaman itu. Hasrat saya untuk membuat Frea senang meninggi. Dengan penuh ekspresif, saya sentuh ujung daun putri malu itu, dan dia pun bergerak 'malu'. Saya amati wajah Frea dengan harapan Frea jauh lebih riang dari riangnya saya saat dikenalkan oleh Bapak dulu.

Satu detik: tak bereaksi.
Dua detik: tak bereaksi.
Tiga detik kemudian: Frea menarik tangan saya, sambil bilang, "Pak, ayo te tempat odong-odong." 
(1 April 2019)

No comments:

Post a Comment