7/3/19

Flu, Fre?



Orang tua mana yang tega melihat anaknya sakit? Karna hal yang paling menyedihkan adalah bukan saat tubuh kita sakit, tapi melihat orang yang paling kita sayangi sakit.

Sudah dua hari ini Frea flu dan batuk. Kami tak membawanya ke dokter. Bukan karna kami tak percaya dokter, tapi lebih karna pengalaman kami dalam merawat Frea waktu sakit.

Pertama. Sakitnya Frea kali ini jelas, flu dan batuk. Dan perlakuan dokter ke Frea saat periksa selalu sama: diagnosis lalu diberi obat sesuai hasil diagnosanya. Sudah. Jadi kami hafal betul apa tindakan dokter.

Ke-dua. Misalkan sudah ke dokter pun, mentok pasti diberi obat. Sementara Frea adalah tipe anak yang susah sekali untuk minum obat. Saya rasa ini juga tak hanya dialami oleh Frea, tapi oleh banyak anak. Masalahnya bukan cuma pada bagaimana obat bisa masuk ke mulut, lalu ke perut. Lebih dari itu.

Saat kami berhasil memasukkan
obat ke mulut, lalu ditelan hingga perut, Frea bisa memuntahkannya kembali. Saya sendiri heran. Sialnya tak cuma obatnya saja yang keluar dari perut, tapi beserta isi lainnya, termasuk makanan yang terkadang dengan susah payah kami menyuapinya.

Saya dan istri selalu dilema soal ini. Ndak diberi obat, kurang cepet sembuhnya. Dipaksa minum obat, takut isi perutnya malah dimuntahkan semua. Sehingga tak jarang ketika Frea sakit, kami membawa ke dokter hanya agar tak disalahkan dan menenangkan orang, terutama Titi-nya, sementara obat tak pernah kami berikan (kecuali mendesak, seperti paracetamol).

Untungnya, Frea tipe anak yang cerdas. Setiap kali badannya ndak enak, minumnya banyak. Terutama air putih. Banyak banget malah. Bisa dua sampai tiga kali lipat dari biasanya. Sehingga mengurangi dehidrasi dan menjaga suhu tubuh sampai dia benar-benar pulih.

Kehebatannya dia lagi, saya selalu melihatnya semangat dalam aktifitas apa pun, yang menurut saya ia dapat lebih cepat memulihkan kondisi tubuhnya menjadi sehat kembali.

Namun saat flu seperti ini, ada waktu di mana saya benar-benar tak tega ketika melihatnya bernapas. Sampai bahkan berkali-kali dia menangis karna terasa susah saat menghirup lewat hidung. Ya, tersumbat ingus. Di sini naluri kebapakan saya muncul.

"Ih, saya tak bisa membayangkan gimana saya kelak." Komentar salah satu teman saya yang belum berkeluarga saat mendengar cerita saya ini, dengan mimik wajah menahan rasa jijik.

Tak perlu dibayangkan gimana. Yang jelas, yang saya rasakan, rasa iba mengalahkan rasa jijik. Apalagi ke anak sendiri.

Dan itu, sedikit agak asin.
(11 Maret 2019)

No comments:

Post a Comment