7/25/19

Mudik



Tradisi unik nan baik yang barangkali cuma ada di negri kita. Tak hanya itu, ia juga menggembirakan.
.
Tak bisa dipungkiri, dalam mudik, membutuhkan pengorbanan yang amat besar. Makin jauh jaraknya, makin banyak pengorbanan yang dikeluarkan. Tenaga, materi, dan waktu. Minimal 3 elemen itu. Meski begitu, rasanya tak ada orang yang bilang kapok untuk mudik. Mereka bergembira ria bertemu handai taulan.

Saya jadi ingat saat mudik masa kecil dulu. Di mana keadaan sistem transportasi di Indonesia begitu buruk. Terutama untuk jalur darat. Anda yang pernah merasakan itu, pasti setuju.
.
Saya ingat benar perjuangan Bapak ketika harus berdesak-desakan demi mendapatkan tiket (entah bis atau kereta). Tak jarang ketika berdesak-desakan itu badannya kesiku atau kakinya terinjak-injak.
.
Sudah dapat tiket pun, untuk masuk ke dalam bis atau keretanya masih harus berdesak-desakan, karena berebut untuk mendapatkan kursi agar tak berdiri selama di perjalanan. Saya pernah merasakan naik kereta sampai harus tidur beralaskan koran di lantai kereta. Itu pun jadwalnya mundur berjam-jam. Berangkat dari Pekalongan sekitar jam 8-an pagi, sampai Solo jam 2 pagi lagi. Dulu belum ada

HP, jadi tidak bisa meminta dijemput dan harus tidur di stasiun untuk menunggu pagi sebelum naik angkot dari stasiun ke rumah Embah.

Melihat keadaan seperti itu setiap tahun, kalau saja gairah untuk bertemu Embah dan semua saudara untuk saling bersilaturahmi dan bermaafan tidak besar, tak akan mungkin mau mengulanginya sampai berkali-kali. Rasanya cukup sekali mengalami itu saja sudah kapok. Kebahagiaan bersilaturahmi bersama keluarga. Ya, barangkali itu alasan yang paling kuat untuk terus melakukan ritual mudik.

Bersyukur sistem transportasi sekarang sudah makin baik.

Kita masih akan tetap menjadi 'manusia' jika masih mau sungkem. Sungkem kepada orang tua dan yang dituakan. Khususnya sungkem kepada Sang Khalik. Karna sungkem adalah simbol ke-rendahhati-an.
.
Selamat mudik.
(3 Juni 2019)

No comments:

Post a Comment