7/25/19

Toilet Lagi



Sudah saya ceritakan kapan kami melakukan toilet training ke Frea. Ya, semenjak dia berumur dua tahun, setiap kami libur, atau kalau ibunya libur, Frea sengaja tidak dipakaikan popok agar terbiasa pipis di kamar mandi atau di WC.

Awalnya sulit juga memberitaunya, kalau sebelum pipis, bilang dulu, untuk segera diefakuasi ke kamar mandi. Berkali-kali kami kebobolan, Frea pipis di tempat di mana ia bermain. Kami terus mendoktrinnya bahwa sebelum pipis, dia harus bilang dulu. Akhirnya, ketika 2 tahun 4 bulan dia bisa bilang ketika akan pipis. Masalahnya, sampai sekarang, dia malas bilang saat akan buang air besar, juga selalu ngompol saat tidur.

Frea dengan ibunya itu punya kedekatan yang aneh menurut saya. Atau barangkali ini terjadi pada semua anak dan ibunya? Jadi dia itu takut sama ibunya ketika dikasih tau sesuatu ketika melakukan suatu kesalahan, tapi tak sampai dua menit, sudah bisa tertawa kembali bersama lalu berpelukan. Dan bahkan setiap kali ada sesuatu, yang dicari pertama kali adalah ibunya, entah saat mau tidur, atau ketika bangun tidur.

Suatu saat, ia tidur

Perajuk



Masalah lain selain anak tak mau menurut apa yang diperintahkan, salah satunya adalah ketika anak meminta sesuatu. Banyak orang tua yang saya lihat 'kalah' dengan kemauan anak. Sehingga setiap si anak minta sesuatu, selalu harus dipenuhi sebagai penyelesaiannya. Tanpa memperhitungkan dampaknya setelah itu.

Terkadang saya gemas juga setiap melihat langsung kejadian ini terjadi. Di satu sisi saya bersyukur punya anak yang (mudah-mudahan) tak sampai seperti anak lain yang apa-apa harus dipenuhi keinginannya. Di sisi lain juga kasihan sama orang tua yang harus seperti itu dalam mengurus anaknya. Di sisi lainnya lagi, ya itu tadi, gemas juga melihat orang tua yang tak punya power dalam mendidik anak.

Beberapa kali saya berkonflik dengan Frea. Saya ingat pesan ibunya Frea, jika sedang ada konflik dengan anak, hendaknya sebisa mungkin diselesaikan hanya berdua dengan anak, tanpa ada yang ikut campur. Kami selalu terapkan itu. Untuk negosiasi, sebaiknya dibicarakan di belakang anak. Begitu pun jika ibunya yang berkonflik dengannya, saya juga tak ikut campur. Baru setelah masalahnya selesai, tanpa didengar Frea, kami ngobrol. Apa yang saya tak setuju, bilang ke ibunya. Di situ negosiasi terjadi.

Ya, senjata anak dalam

Om Aji



Kemarin Frea senang banget didatengi Om-nya. Sudah lama sekali dia tak berjumpa dengan Om-nya itu. Dirautnya terlihat jelas rasa bahagianya.

Om-nya tiba di rumah persis saat Frea juga baru naik odong-odong-- wahana yang amat disukainya. Saya sendiri tak tega jika Om-nya menunggu lama di rumah, tapi juga tak tega jika baru sebentar, Frea diminta untuk berhenti menyudahi naik odong-odongnya. Maka saya beri waktu 5 menit untuk menikmatinya.

Setelah 5 menit itu, saya memberanikan diri ngomong ke Frea untuk menyudahinya, dengan alasan Om-nya sudah sampai,dan sedang menunggu di rumah.

Tak disangka, Frea langsung mau, mengiyakan untuk segera beranjak dari mobil odong-odong yang sedang dinaikinya. Tak biasanya dia begitu. Saat pertama kali naik, bahkan sampai menangis saat dipaksa turun. Tapi kali ini dia langsung mau turun meski diwajahnya ada sedikit rasa kecewa.

Sesampai di rumah, melihat Om-nya, Frea langsung beraksi centilnya. Segala

Pembangkang



Pernahkah melihat anak kecil yang begitu membangkang saat diperintah oleh orang tuanya? Disuruh mandi, ndak mau. Disuruh tidur, malah mainan. Apa pun yang diperintahkan selalu saja menolak. Yang saya bicarakan adalah anak balita. Tak usah jauh-jauh, keponakan saya juga begitu.

Saya sepakat kalau sifat tiap anak itu berbeda-beda. Alasan ini yang biasanya dipakai oleh orang tua sebagai pemakluman. Sah-sah saja memakai alasan itu, tapi terkadang mereka melupakan satu hal bahwa karakter anak juga dibentuk dari lingkungan.

Anak mempelajari hal-hal yang mereka lihat dan alami setiap hari. Dari waktu ke waktu.
Hal yang pertama biarlah urusan Maha Yang Menciptakan. Tugas kita sebagai orang tua harusnya fokus pada hal yang ke-dua tadi, yaitu bahwa karakter anak itu terbentuk dari lingkungan, khususnya keluarga.

Sebagai contoh soal anak membangkang tadi misalnya. Pasti ada hal di mana dia pernah dibohongi orang tuanya sehingga dia tidak percaya lagi omongannya. Anak seperti itu tau, bahwa orang tuanya tak lebih hanya akan menyuruh saja, hanya bicara saja, tak lebih.

Contohnya begini:

Konspirasi Popok



Butuh waktu lama barangkali berurusan tentang mendidik anak untuk bisa benar-benar mandiri masalah buang air ini. Di usia berapa Anda bisa pipis atau pup dan bisa cebok sendiri? Saya sendiri lupa sampai umur berapa.

Yang saya ingat adalah tentang adik saya yang pertama. Dia yang lumayan lama bermasalah urusan buang air kecil menurut lazimnya kebanyakan anak saat itu. Saya ingat, sampai kelas 2 SD, adik saya masih sering ngompol. Dengan berbagai macam, Bapak mencarikan solusi untuk menghentikan kebiasaan yang dianggap ‘tak umum’ itu. Setiap ada yang memberi tau caranya agar anak berhenti mengompol, langsung dipraktikannya. Entah masalah teknis, maupun tentang makanan dan minuman yang harus dikonsumsi.

Saya ingat salah satu yang disarankan kepada Bapak, agar adik saya itu bisa berhenti mengompol. Yang saya lupa adalah siapa yang memberi usulan ilmu itu kepada Bapak. Saat itu Bapak diberi tau agar adik saya makan Koangan, hewan yang

Toilet



Toilet training ternyata memang tak mudah. Kalau dibilang susah sekali untuk Frea, juga tidak. Sebab dia tipe anak yang bisa diberi tau. Memang, di awal-awal Frea tidak dipakaikan pampers, sejak dia sudah bisa mengucap dengan jelas (setidaknya untuk kami—orang tuanya), Frea bisa bilang ketika dia akan pipis. Sayangnya Frea bilang pipis saat bersamaan dengan pipisnya keluar.  Jadi ya sama saja. Ndak ngaruh.

Untuk menyiasatinya, kami melihat pola pipisnya, setiap berapa menit Frea pipis? Pada saat awal-awal tanpa pampers (kira-kira umur 2 tahun), pola pipis Frea setiap 20 menitan. Maka setiap waktu itu pula kami membawa Frea ke kamar mandi/toilet, meski terkadang setelah sampai sana, Frea tidak kunjung pipis. Sekarang (2 tahun 9 bulan) intensitas Frea pipis sudah lumayan lama, kira-kira 2 sampai 3 jam.

Pernah suatu waktu, karena lumayan seringnya Frea harus bolak-balik ke kamar mandi ketika hendak pipis, saat pipis itu dia meminta untuk pakai popok saja. Dia ngomong dengan sangat cepat dan sambil nangis: “Habis ini pate popok habis ini pate popok habis ini pate popok habis ini pate popok.” Saya ngakak mendengarnya.

Meski sudah bisa bilang saat mau pipis, terkadang dia lupa waktu, terutama ketika dia bermain. Beberapa kali dia ngompol saat bermain. Untuk menghindari itu, kami harus sering-sering mengingatkan agar dia tak lupa bilang ketika akan pipis.

Yang lebih sulit lagi

Eyang



Tak pernah saya mengidolakan seseorang pejabat negara seperti saya mengidolakan Eyang Habibie. Bahkan ini adalah momen foto dengan seorang publik figur yang paling saya senangi. Memang, seburuk-buruknya seseorang, pasti ada hal baik yang ada di diri orang tersebut. Pun sebaliknya, sebaik-baiknya seseorang, pasti ada kesalahan yang pernah dibuatnya.

Tapi begitu banyaknya kebaikan yang ada pada diri Eyang Habibie, saya bahkan tak menghiraukan kesalahannya. Orang baik akan tetap terlihat kebaikannya. Bahkan ketika ada sesuatu yang salah dari orang tersebut, pasti ia tak semata-mata mutlak kesalahannya. Tuhan akan menunjukkan itu.

Foto ini diambil tanggal 17 Februari 2007. Ya, sudah 12 tahun silam, tapi kenangannya beberapa masih saya ingat dengan jelas. Saat pertemuan itu, saya meminta beliau mendoakan hal yang baik-baik tentunya.

Satu momen lain yang saya ingat adalah ketika beliau mau beranjak pergi meninggalkan acara, untuk kembali ke Jakarta. Tapi saat itu pula beberapa wartawan menghadangnya untuk mewawancarai. Beliau dimintai pendapat tentang kondisi negara saat itu terutama bidang ekonomi dan hubungannya dengan sistem transportasi.

Saya ingat, ajudannya

Bapak IV



Saya sadar, saya bukanlah tipe orang yang bisa ngobrol lama dengan orang lain, apalagi yang tak sefrekuensi. Juga dengan Bapak. Meski hubungan antara Bapak dengan anak bukanlah masalah sefrekuensi atau tidak. Banyak hal yang tak saya omongkan ke Bapak, tapi beliau tau. Apa yang masih ada di dalam hati dan baru berniat untuk mengatakannya ke Bapak, beliau sudah bisa menebaknya.

Sebagai seorang anak, apa-apa yang sekiranya tak mengenakkan hati saya, juga khususnya Bapak, inginnya saya menyembunyikannya dari Bapak. Saya tak ingin membebankan pikiran Bapak. Saya tau perasaan seorang Bapak jika tau anaknya tak bahagia. Namun tanpa diceritakan pun, besar kemungkinan Bapak tau jika anaknya sedang ada masalah.

Bapak juga tipe orang yang sama. Beliau tak ingin membebankan masalah ke orang lain. Sebisa mungkin, apa-apa yang sedang dihadapinya, diselesaikannya sendiri, tanpa membebankan kepada orang lain. Termasuk saat beliau menahan sakit yang dideritanya.

Sebenarnya sebelum Bapak difonis sakit, perubahan fisik Bapak sudah terlihat. Tubuhnya makin kurus. Melihat perubahan fisik Bapak tersebut, saya berkali-kali mengajak Bapak untuk mengecek kesehatannya. Tapi berkali-kali pula Bapak menolaknya. Tak hanya anak-anaknya yang meminta Bapak untuk periksa, teman dan para tetangga di rumah pun berkali-kali juga membujuknya. Tapi ya itu, Bapak adalah tipe orang yang tak ingin menyusahkan orang lain. Beda dengan saya yang sudah banyak menyusahkan orang lain.

Begitu banyaknya orang-orang yang sangat peduli dan menyayangi Bapak. Ini terlihat selama Bapak sakit. Begitu banyak orang yang menjenguk Bapak, entah pada waktu di rumah maupun saat berada di rumah sakit. Juga terlihat saat Bapak kembali padaNya. Begitu banyak orang-orang yang datang melayat Bapak.

Dari setiap peristiwa, ada hal yang bisa kita ambil untuk dijadikan pembelajaran. Maha Benar Allah dengan segala firmanNya.

Untuk Bapak, Al Fatihah....
(19 Juni 2019)

Baik



Hal-hal yang baik seharusnya memang ditanamkan pada anak sedini mungkin. Tak ada orang tua sebejad apa pun yang menginginkan anaknya jadi orang jahat. Tak ada pemabuk yang menyuruh anaknya mabuk. Tak ada pencuri yang berdoa agar anaknya bisa menjadi penerus mencuri. Semua ingin agar anak-anak mereka baik.

Hingga tak heran jika ada seorang dengan wajah merah padam habis mabuk, mengantarkan anaknya mengaji. Saya juga sering melihat seorang ibu-ibu muda yang mengantarkan anaknya ke sekolah berseragam muslim rapat dengan kerudungnya, sementara si ibu muda itu memakai kaus ketat dengan bawahan hot pant yang membuat saya senang melihatnya.

Semua itu semata-mata adalah bentuk ikhtiar orang tua agar kelak sang anak menjadi anak yang baik, yang syukur-syukur bisa membanggakan dan mendoakan orang tuanya.

Pun kami.

Sedini mungkin kami tanamkan di diri Frea hal-hal yang baik-baik. Berdoa sebelum melakukan sesuatu, bersyukur setelah memperoleh sesuatu yang baik, makan-minum pakai tangan kanan, mandi sehari dua kali meski terkadang saya tidak, makan-minum sambil duduk, ngupil dengan jari – bukan  dengan garpu, dan masih banyak hal baik lain.

Juga ada beberapa

Bapak III



Puasa dan lebaran tahun ini adalah kali pertama tanpa ditemani Bapak, setelah beliau kapundhut dua hari menjelang ramadhan sebulan lalu.

Apa yang paling membekas dari Bapak saat ramadhan adalah cara membangunkan saya ketika sahur. Meski agak keras, intonasi suaranya tak mungkin akan terlupa di otak saya. Juga nada ketika beliau ndarus. Nada mengaji yang begitu khas. Saya menyesal karna tak sempat merekamnya.

Ada kenangan lain saat bulan puasa dengan Bapak yang sampai saat ini masih berkesan. Kejadiannya saat saya masih SD. Entah kelas berapa. Di kampung saya waktu itu, tiap ngabuburit, anak-anak pada sepedaan ke bendungan yang jaraknya kira-kira tiga kiloan meter. Ya, lumayan jauh memang. Tapi itulah satu-satunya obyek yang paling menarik kami untuk mendatanginya.

Sebelum berangkat, Bapak selalu berpesan agar sebelum beduk Maghrib harus sudah sampai di rumah. Layaknya anak-anak, keasyikan bermain bisa melupakan segalanya, terutama waktu. Karena masalah itu, saya dimarahi Bapak. Padahal hanya selang beberapa menit setelah adzan. Kini saya tau kekhawatiran seorang orang tua terhadap anaknya.

Ini adalah kenangan foto-foto bapak lebaran tahun lalu. Di mana beliau masih bisa membuatkan taman kecil untuk bermain cucu-cucunya, bersilaturahmi dengan saudara, bercanda dengan anak-cucunya, juga masih bisa mendoakan hal-hal yang terbaik untuk anak-anaknya.
(6 Juni 2019)

Mudik



Tradisi unik nan baik yang barangkali cuma ada di negri kita. Tak hanya itu, ia juga menggembirakan.
.
Tak bisa dipungkiri, dalam mudik, membutuhkan pengorbanan yang amat besar. Makin jauh jaraknya, makin banyak pengorbanan yang dikeluarkan. Tenaga, materi, dan waktu. Minimal 3 elemen itu. Meski begitu, rasanya tak ada orang yang bilang kapok untuk mudik. Mereka bergembira ria bertemu handai taulan.

Saya jadi ingat saat mudik masa kecil dulu. Di mana keadaan sistem transportasi di Indonesia begitu buruk. Terutama untuk jalur darat. Anda yang pernah merasakan itu, pasti setuju.
.
Saya ingat benar perjuangan Bapak ketika harus berdesak-desakan demi mendapatkan tiket (entah bis atau kereta). Tak jarang ketika berdesak-desakan itu badannya kesiku atau kakinya terinjak-injak.
.
Sudah dapat tiket pun, untuk masuk ke dalam bis atau keretanya masih harus berdesak-desakan, karena berebut untuk mendapatkan kursi agar tak berdiri selama di perjalanan. Saya pernah merasakan naik kereta sampai harus tidur beralaskan koran di lantai kereta. Itu pun jadwalnya mundur berjam-jam. Berangkat dari Pekalongan sekitar jam 8-an pagi, sampai Solo jam 2 pagi lagi. Dulu belum ada

Tarawih Ngantuk



Saat kali pertama saya tarawih dengan dengkul masih ada luka, Frea ikut dengan saya. Jadi dia satu-satunya orang di barisan shaf laki-laki yang memakai mukena. Shalat Isya, rakaat pertama aman. Tapi sampai pada posisi sujud, Frea belum bisa sujud dengan posisi benar menurut syariat. Sujudnya adalah posisi tidur dengan tengkurep. Sebenarnya tidak ada masalah jika saja tengkurepnya ada di wilayah tempat sholatnya. Tapi posisi tengkurep Frea, kakinya berada  di tempat sujud orang di belakangnya. Saya yang tadinya sholat ndak khusuk jadi makin tambah ndak khusyuk lagi melihat tingkahnya.

Rakaat ke-dua dia ikut berdiri, ruku, lalu sujud lagi. Tapi di rakaat ke-tiga, dia hanya duduk, diam, menghadap ke belakang mengamati orang-orang yang lagi sholat. Rakaat terakhir sholat Isya itu, dia tiduran. Kali ini tidurnya malah melintang ke arah utara-selatan. Otomatis, kakinya berada di depan tempat sujut orang yang ada di sebelahnya. Sungguh sholat isya yang penuh dengan pikiran yang bercabang dan jauh dari ketidak-khusyu’an.

Pada saat yang lain dzikir, saya

Tarawih



Pasca jatuh (3 Mei 2019), semingguan di rumah, saya tidak tarawih. Di lutut ada lecet yang lumayan besar. Maka ketika sujud, saya harus ekstra pelan dan hati-hati sehingga membutuhkan waktu yang lama. Karena itu saya memutuskan untuk tidak tarawih. Saya baru tarawih ketika memasuki 10 malam yang ke-dua, meski luka di lutut belum sembuh benar.

Pasca jatuh itu pula saya belum bisa mengendarai motor, karena ada luka di telapak tangan kanan. Maka setiap saya ke masjid untuk tarawih, ibunya Frea yang mengendarai motor di depan dan saya hanya membonceng saja. Dia yang mengantar-jemput saya, Titi, dan Tatung saat ke masjid—juga bersama Frea tentunya.

Sebenarnya tidak terlalu jauh jarak dari rumah ke masjid, hanya saja masjidnya adalah masjid instansi pemerintah yang letaknya berada di dalam komplek perkantoran, dan untuk menuju ke sana harus melewati gerbang yang ada pos penjaganya. Masjid yang hanya ramai saat ada tarawih, sholat Jum’at, serta sholat Id saja. Setelah itu, hanya dihuni oleh orang-orang diperkantoran itu saja karena letaknya bukan di area perkampungan. Tak sampai 15 menit, begitu tarawih selesai, di masjid hanya tersisa 2-3 orang. Pernah suatu kali sesampai di masjid saat menjemput saya, masjid sudah sepi. Frea bilang ke ibunya, “Bu, masjidnya sudah habis.” BUKAN MASJIDNYA YANG HABIS FREE... TAPI ORANGNYA YANG SUDAH HABIS.

Suatu malam, setelah tarawih usai,

Dokter Gigi



Senin, 15 April 2019, saya pulang lebih awal dari pada hari Senin-Senin lain seperti biasanya. Tanpa rencana, ibunya Frea mengajak saya ke dokter gigi. Katanya, mau mencabut sisa giginya yang berlubang, juga sekaligus memeriksakan gigi Frea yang memang sudah ada yang berlubang.

Sesampai di tempat dokter gigi, sudah ada beberapa orang yang mengantri. Masing-masing membawa anak, termasuk kami. Jadi di dalam ruang antrian, ada empat anak, 2 anak kira-kira berumur 3-4 tahun, seorang anak masih 1 tahunan, sementara Frea 2,5 tahun. Alhamdulillah Frea yang paling aktif dan cerewet di antara yang lain. Punya anak yang aktif dan cerewet itu menyenangkan, meski sesekali juga dibuat malu tapi juga geli oleh kelakuannya yang tak terduga. Yang jelas harus punya tenaga ekstra untuk mengawasinya.

Frea dan ibunya mendapat antrean ke-empat dari yang ada di sana saat itu.  Dan tidak ada lagi pasien yang mengantri. Memang, dibandingkan

Bapak II



Kenangan terakhir saya bersama Bapak adalah malam saat menunggui beliau. Begitu tersadar dari tidurnya yang lumayan lama, beliau menanyakan “Jam pira?”. Dari mulutnya terucap istighfar berkali-kali, lalu tayamum dan sholat. Tampak sekali beliau lemas. Barangkali karna dua malam sebelumnya beliau terjaga, tak bisa tidur. Masih dalam posisi sholat, Bapak tertidur.
.
Tidak lama, Bapak bangun lagi. Satu hal yang diminta beliau adalah meminta saya mengambilkan tasbih dan HP untuk melihat jam. Saya menjawab, mengiyakan untuk minta dibawakan adik yang di rumah untuk membawakannya besok pagi. Lalu saya menawari Bapak untuk makan dan meminum obatnya. Bapak mau. Setelah itu, beliau tertidur lagi. Dalam hati saya bersyukur Bapak bisa istirahat. Efeknya, keesokan harinya kondisi Bapak alhamdulIllah membaik.
.
Paginya ada Pakdhe, Budhe, dan beberapa putranya (sepupu saya) yang menjenguk. Di saat itu, beliau malah sudah bisa ngobrol dan guyon, meski cuma sebentar. Itu artinya memang kondisi Bapak makin membaik. Tapi semua kembali kepada Allah, Maha Mengetahui yang mengatur segalanya.
.
Gambar ini mungkin tak sempurna, tapi cintamu untuk anak-anakmu sungguh sempurna. Itu yang saya rasakan.

Terima kasih, Pak. Al Fatihah....

#Bapak : 23 Feb 1954 - 3 Mei 2019
(30 Mei 2019)

Bapak



Hampir setahun Bapak berjuang menahan sakitnya. Tak pernah putus asa sedikitpun. “Yaa ora pa-pa, sing penting sehat,” begitu kata Bapak setiap ada teman beliau yang datang menjenguk dan menyemangati Bapak. Apa pun Bapak bersedia melakukan, demi kesembuhannya. Termasuk ketika diharuskan untuk cuci darah dua kali dalam seminggu sejak Agustus tahun lalu (2018).

Saya selalu ingat, setiap kali habis menjenguk Bapak, saat pamitan ke beliau, kata-kata yang selalu saya ucapkan setelah salim mencium tangan dan kening beliau, sebelum mengucap salam, adalah “(Yang) Kuat nggih, Kung.” Seringnya, beliau hanya diam, lalu menjawab salam.

Begitu pun hari itu. Saya pamit kepada Bapak yang masih terbaring di rumah sakit, untuk kembali ke Semarang karena ada pekerjaan yang harus diselesaikan, dan bilang kalau lusa akan kembali lagi. Saya berani meninggalkan Bapak karena kondisi beliau semakin membaik. Bapak sudah bisa bercanda lagi ketika ada saudara yang menjenguk. Saya tak menyangka kalau itu adalah pertemuan saya yang terakhir sebelum akhirnya Bapak kembali kepadaNya (3 Mei 2019).

Sugeng tindak, Pak. Berbahagialah di sana. Maafkan semua salah saya. Dan semoga saya tak pernah lupa mendoakanmu.

Untuk Bapak (Suroso bin Tjahyo), Al Fatihah....
(20 Mei 2019)


7/17/19

Akalagi



Bermain selalu menjadi obat tersendiri bagi semua orang. Seberapa tua usia Anda, sebaiknya bermainlah untuk melupakan penat, barang sejenak.

Bermain dan berolahraga adalah satu rangkaian kegiatan yang saling berkaitan, kalau tak bisa disebut identik. Maka ada cabang olahraga permainan. Olahraga sambil bermain, atau bermain sambil berolahraga?

Olahraga juga identik dengan berkeringat, meski tak semua olahraga mengeluarkan keringat. ‘Bermain catur’ atau ‘berolahraga catur’? Bercatur di tempat ber-AC, tak sepanas kondisi otak saat dikejar deadline, kan ya?

Suatu sore, Mas sepupu Frea yang berumur setengah tahun lebih tua darinya, bermain di halaman. Namanya Mas Rafif. Masnya sedang naik mobil-mobilan. Saya keluar rumah bersama Frea setelah saya mandikan. Frea berjalan mendekati masnya itu dan tampak ingin sekali menaiki mobil-mobilan yang sedang dinaiki masnya.

Terjadilah percakapan berikut:

Gosok Gigi



Ritual Frea sebelum tidur, setelah minum susu adalah gosok gigi. Untuk kegiatan satu ini, dia tidak menyukainya. Tandanya adalah: setiap kali gosok gigi (entah pada waktu mandi atau pun sebelum tidur) selalu saja menangis, dari dulu sampai sekarang.

Banyak orang yang bilang bahwa anak memang seperti itu saat di awal saja, dan lama-lama juga nanti terbiasa. Tapi Frea  dari awal kalinya sikat gigi (umur setahunan mungkin) sampai sekarang (umur 2,5 tahun) tiap kali sikat gigi selalu saja menangis dan harus dengan cara dipaksa.

Oh ya, ritualnya yang lain setelah mapan tidur adalah minta dikipasi sambil kruik-kruik tangan ibunya. Ya, harus ibunya. Bahkan ketika sudah sangat mengantuk dan sambil merem, ketika tangan ibunya diganti dengan tangan saya, dia bisa tau, dan langsung menyingkirkan tangan saya lalu meminta tangan ibunya lagi untuk dikruik-kruik, sampai dia benar-benar tertidur.

Pernah suatu malam, sebelum tidur dia langsung gosok gigi tanpa minta susu terlebih dulu. Tumben-tumbenan. Lalu dia mapan tidur sambil minta dikeloni ibunya untuk dikruik-kruik seperti biasa. Beberapa menit berlalu, dan dia belum juga tidur.

“Bu.”

“Ya? Kenapa, Fre?”

Masjid



Sepekan terakhir, setiap kali tidak hujan dan pas saya sudah di  rumah, kami sering mengajak Frea ke masjid yang disukainya. Disukai ibunya lebih tepatnya. Memang beralasan kenapa masjid itu yang dipilih. Selain masjidnya nyaman, keamanan terjamin, satpamnya ramah, juga yang terpenting ramah anak dan banyak anak-anak di sana. Frea butuh sosialisasi juga pembanding dalam tanda kutip.

Eh, ada yang tertinggal, dan ini juga masuk sebagai alasan kuat: jaraknya yang tidak terlalu dekat juga tidak terlalu jauh, sehingga ketika ke sana harus bermotor. Ya, Frea masih senang-senangnya jalan-jalan naik motor. Bahkan sekadar ketika saya hendak memasukan motor dari halaman ke dalam rumah pun, dia ikut, meski saat itu dia sudah mapan tidur.

Kami mengajaknya ke sana juga beralasan. Selain agar saya berjamaah, juga karna kami menduga Frea mulai kecanduan HP. Setiap kali saya pulang, yang Frea katakan ke saya, “Pak, boleh liat HP-nya Bapak?” Selalu begitu.

Sebenarnya intensitasnya dalam melihat HP juga

Putri Malu



Terkadang saya sering mempertanyakan tentang nama suatu benda kenapa benda itu dinamai begitu. Kenapa teko dinamai teko? Kenapa keadaan gelap tanpa sinar matahari dinamai malam? Dan masih banyak pertanyaan lagi.

Atau barangkali Allah-lah yang menamainya secara langsung dengan perantara nabi, rasul, dan para waliNya? Mungkin.

Untung manusia diciptakan sebagai makhluk yang mudah menerima. Jika tidak, maka semua akan menjadi ruwet. Menjadi masalah yang tak berkesudahan. Adakah manusia-manusia ruwet itu?

Mereka para pemikir adalah orang-orang dengan pemikiran yang demikian ruwet. Semua hal dipikirkannya sedemikian hingga menjadi ruwet, meski hal sederhana sekalipun. Namun terkadang juga menjadikan hal-hal yang kita anggap ruwet, menjadi sederhana.

Saya mengenal putri malu ketika ia sudah dinamai putri malu oleh si pemberi nama, dan sudah diamini oleh banyak orang. Maka saya juga tinggal mengamininya saja. Toh ia bukan dosa.

Bapak sayalah orang yang telah mengenalkan saya dengan putri malu. Dengan penuh antusias

Ring Donat



Hari Minggu kemarin (24 Maret 2019), untuk pertama kalinya Frea mengikuti sebuah perlombaan. Ibunya yang mendaftarkannya setelah meminta ijin saya. Layaknya sebuah perlombaan, untuk menjadi pemenang, dicari yang terbaik. Dan dalam hal ini yang tercepat, karna lomba kali ini adalah tentang ketangkasan. Menyusun ring donat.

Untuk bisa menyusun dengan cepat haruslah ada kerjasama yang baik antara otak sebagai bos dalam kerja, syaraf penghubung sebagai kurir yang mengantarkan perintah si bos kepada si pengeksekusi gerak, dan indra penggeraknya itu sendiri sebagai ujung tombak semua perintah si bos untuk diselesaikan. Jika salah satu saja dari ketiganya tidak bekerja dengan baik, maka sudah tentu hasilnya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.

Lalu, apakah Frea menang?

Lomba ring donat diperuntukkan anak usia 2 tahun sampai kurang dari 3 tahun. Anak di usia segitu, kemampuan untuk memasukkan semua ring dari yang ukurannya besar sampai yang terkecil adalah suatu yang tak mudah menurut saya. Apalagi bagi anak yang jarang sekali memainkan mainan itu.
Ia harus memilih satu per satu dari beberapa ring yang ada. Memilih mana yang harus didahulukan. 

Tentang ukuran, warna, bahkan ketika sudah

Ngambek



Jumat pagi, bangun tidur Frea menangis mencari ibunya. Tumben dia menangis, biasanya tak seperti itu. Begitu bangun, meski tak ada orang di sampingnya, dia langsung turun dari tempat tidur, keluar kamar, lalu menuju dapur mencari ibunya. Setidaknya, di sana pasti ada orang. Setiap pagi, dapur dan kamar mandi (yang letaknya bersebelahan) adalah pusat aktifitas di rumah.

Karna saya yang melihatnya terlebih dahulu, maka saya gendong Frea, untuk kemudian mengalihkan perhatiannya agar berhenti menangis. Saya membawanya ke luar rumah untuk melihat anjing tetangga, dia masih saja menangis. Saya tawari ambil bunga di dekat pertigaan jalan, dia tetap menangis. Padahal ke-dua hal tadi, adalah hal yang begitu disukainya saat pagi tiba (dan saya punya waktu agak longgar tentunya).

Untuk diketahui, Frea adalah tipe anak yang ketika menangis, hanya sebentar saja. Tapi kala itu, ia benar-benar hanya mencari ibunya. Saya kalah. Saya menyerah. Masih dalam keadaan menangis, saya bawa Frea ke dapur mengantarkan ke ibunya.

Ternyata, sandiwaranya tak cuma sampai di sana. Saat sudah

Whoaaa...



Saya yakin, mereka para pekarya terkadang tak peduli apa kata orang tentang karya-karyanya. Yang mereka lakukan hanya berkarya. Bagus atau jelek kata orang, itu urusan orang yang berkomentar, bukan yang dikomentari. Karna mereka para pekarya hanya senang dan memuaskan batin mereka dengan menghasilkan suatu karya.

Memang terkadang, ketika memikirkan apa komentar orang tentang apa yang kita buat, waktu kita malah tersita karna terlalu memikirkan omongan orang itu. Waktu yang mungkin jika kita melakukan hal lain, akan menghasilkan banyak hal. Saya juga sering begitu.

Mereka para pelukis akan senang melihat berlama-lama hasil lukisan yang baru diselesaikannya.  Kreator film, akan terus memproduksi film meski karyanya pernah tak laku. Pun penulis. Ia akan senang ketika sebuah tulisan telah selesai ditulis. Ya, sesederhana (yang tak sederhana) itu kebahagiaan bagi mereka. Lebih bahagia lagi

Key Bye




Hal paling berat setiap hari yang saya rasakan adalah saat akan berangkat kerja. Kenapa? Itu adalah saat di mana saya harus menyaksikan langsung beratnya pandangan Frea saat melihat orang tuanya pergi. Dia tak berkata apa-apa, tapi matanya mengisyaratkan lain. Saya tau ini karna pernah merasakan hal yang sama dulu ketika saya akan ditinggal Bapak saya pergi, entah kerja, atau saat ada urusan lain.

Perasaan saya dulu begitu, hanya itu. Tak memikirkan bagaimana perasaan yang Bapak saya rasakan saat itu. Ternyata tidak. Beratnya melihat tatapan anak yang tidak ingin ditinggal orang tuanya, ternyata sama beratnya, apalagi anak sendiri. Ditambah lagi beratnya meninggalkannya. Ini yang saya rasakan sekarang. Dan saya yakin, yang Bapak saya rasakan dulu juga sama.

Saya masih agak tega meninggalkan Frea bila di rumah masih ada ibunya. Begitu pun ibunya. Maka terkadang, kami berebut untuk berangkat terlebih dulu bukan karena ingin segera meninggalkan rumah, tapi semata-mata tak ingin menjadi ‘juru kunci’ kesaksian.

Lagi-lagi kecerdikan Frea. Setiap sebelum

Mukena



Belum lama, Frea dihadiahi ibunya sebuah mukena lengkap dengan sajadahnya. Hadiah itu sebenarnya adalah nadzar ibunya yang sudah lama. Yaitu saat Frea belum bisa jalan. Karna Frea termasuk anak yang untuk jalan saja butuh kalkulasi yang pas agar aman. Sehingga dia butuh waktu tepat dua tahun hitungan Hijriah untuk bisa jalan tanpa pegangan. Waktu yang cukup lama dibandingkan teman-teman sebayanya. Tapi saya tak mempersalahkan itu, karna saya tau kemampuannya. Rambatane wae lincah.

Saya percaya kata orang, bahwa kemampuan anak itu berbeda-beda. Tapi juga tetap waspada. Saya punya teman yang anaknya seusia Frea, tapi saat saya bertemu dengannya (2 tahun 2 bulan waktu itu), belum bisa melafalkan kata satu pun. Dia cuma bisa menunjuk-nunjuk bila ingin sesuatu. Menurut saya itu perkembangan yang tidak wajar, walau pun menurut ayahnya, itu ya wajar saja, dengan alasan tadi, yaitu bahwa perkembangan anak itu beda-beda.

Meski kemampuan berjalannya agak lambat dari teman sebayanya, tapi kemampuan

Arsip

Cukup lama rumah saya www.teachburger.blogspot.com tak tersentuh. Bahkan tak ada postingan di tahun 2018 lalu. Bukan saya tak menulis sama sekali, tapi entah karena apa saya tak mempostingnya di sana. Saya hanya menulis dan menyimpannya di folder laptop saja, sebagai ‘tabungan’. Memang tak banyak. Saya sadar, tahun lalu memang harus berurusan dengan beberapa hal lain.

Di tahun lalu saya hanya memanfaatkan twitter sebagai tempat di mana saya bisa menyimpan catatan-catatan singkat tentang peristiwa yang saya alami, juga beberapa opini yang terlintas saat itu yang kelak bisa menjadi contekan saat dibutuhkan. Twitter ini yang sampai sekarang masih saya gunakan entah sampai kapan. Karena selain sebagai catatan, banyak sekali ilmu yang saya dapat di sana.

Di tahun ini, saya lumayan banyak memanfaatkan media instagram sebagai tempat untuk menyimpan tulisan-tulisan saya, karena

7/3/19

Akal



Saat saya sedang menyetrika, tiba-tiba Frea merajuk meminta digendong. Tak biasanya dia seperti ini. Saya mencoba menawar untuk menyelesaiakannya terlebih dahulu, tapi dia tetap merengek sambil nggandul di badan saya. Mau tidak mau saya meletakkan setrika dan menggendongnya.

“Didong, Pak... Ayo... (Gendong, Pak... Ayo...)”

“Ke mana?”

“Ayo Paaak... Te tana... Te lual (Ayo Paaak... Ke sana... Ke luar).”

“Frea mau apa di luar? Mainan di sini saja, ya?” Saya merayunya agar tetap berada di samping saya.

“Ndak. Ayo telual...” Dia tetap meminta saya menggendongnya ke luar.

Saya menggendong membawanya berjalan ke arah luar dari ruang tengah. Sampai di ruang tamu, tepat di samping akuarium, Frea meminta berhenti, lalu meminta saya mendekati akuarium. Di atas akuarium ada HP saya yang sedang dicharge. Akuarium itu diletakkan di atas meja setinggi kira-kira 80 cm dan akuariumnya sendiri 70 cm sehingga kalau dari lantai hingga bagian atas/tutup akuarium, tingginya kurang lebih 1,5 meter, dan Frea tak bisa menjangkaunya.

Sengaja kami setiap kali

Main, Yuk!



Apakah Anda setuju dengan pernyataan bahwa masa kecil adalah masa yang paling membahagiakan?
Begini. Setiap hari, setiap kali saya berada di rumah, Frea selalu mengajak saya bermain. Entah itu main masak-masakan, mainan miniatur hewan, boneka, bola, sampai mobil-mobilan. Jangan heran kalau dia bisa mainan cowok, karna semua sepupunya yang masih kecil laki-laki. Saat dalam permainan itu, saya selalu berusaha masuk ke dunianya. Bahkan terkadang saya yang malah asyik main karna terlalu dalam masuknya, hingga istri menghentikannya.

Sering sekali dia main sendiri ketika memang tak ada orang yang bisa diajaknya bermain. Atau ketika kami-- orang tuanya harus menyelesaikan sesuatu, sehingga hanya bisa mengawasinya saja. Itu pun kami usahakan sebisa mungkin untuk bergantian menemaninya bermain.

Imajinasi seseorang ketika bermain memang liar. Apa pun bisa dijadikan bahan mainan. Ketika main masak-masakan misalnya, Frea terkadang bergumam sendiri. Atau ketika dia sudah merasa masakannya matang, dia memberikan piring (mainan tentunya) ke saya sambil mengucapkan sesuatu yang saya tidak mengerti, namun ketika saya tanya barusan dia bilang apa, dia hanya tertawa. Entah dia sedang mengimajinasikan apa, saya tidak tau.

Imajinasi harusnya

Flu, Fre?



Orang tua mana yang tega melihat anaknya sakit? Karna hal yang paling menyedihkan adalah bukan saat tubuh kita sakit, tapi melihat orang yang paling kita sayangi sakit.

Sudah dua hari ini Frea flu dan batuk. Kami tak membawanya ke dokter. Bukan karna kami tak percaya dokter, tapi lebih karna pengalaman kami dalam merawat Frea waktu sakit.

Pertama. Sakitnya Frea kali ini jelas, flu dan batuk. Dan perlakuan dokter ke Frea saat periksa selalu sama: diagnosis lalu diberi obat sesuai hasil diagnosanya. Sudah. Jadi kami hafal betul apa tindakan dokter.

Ke-dua. Misalkan sudah ke dokter pun, mentok pasti diberi obat. Sementara Frea adalah tipe anak yang susah sekali untuk minum obat. Saya rasa ini juga tak hanya dialami oleh Frea, tapi oleh banyak anak. Masalahnya bukan cuma pada bagaimana obat bisa masuk ke mulut, lalu ke perut. Lebih dari itu.

Saat kami berhasil memasukkan

Teras



Tadi malam, di teras sebuah masjid bakda maghrib, sembari menunggu isya, saya dan istri mengobrol seperti biasa. Terlihat di halaman masjid ada beberapa anak yang sedang asyik bermain. Ada yang bersepeda, mengobrol, ada juga yang sedang bermain HP.

"Bu, itu anak-anak tiap hari di sini, atau cuma waktu malam Minggu saja ya?" tanya saya ke istri saat melihat anak-anak itu. Saya memang sering iseng menanyakan apa pun yang saya lihat dan atau ada di pikiran saya ke istri sekadar mencandainya.

Awalnya dia cuma nyengir. Lalu seperti telah mengingat sesuatu. "Pak, besok kalau Frea udah sekolah, kita bolehkan dia main HP tiap hari ya.."

Saya bingung dengan pertanyaannya. "Maksudnya?"

"Lihat anak itu," sambil menunjuk anak yang sedang asyik memainkan gawainya. "Atau perhatikan anak-anak usia sekolah pada umumnya. Kebanyakan mereka hanya

RS H 55



Pagi tadi saya ke sebuah rumah sakit. Sebut saja RS H. Saya bermaksud mendaftarkan anak saya periksa. Sudah saya duga, kalau menggunakan BPJS pasti antre. Saya mendapat nomor antrean 55. Angka yang tidak terlalu banyak sebetulnya dibandingkan dengan antrean di RS lain yang pernah saya kunjungi pada jam yang sama. Hanya saja di RS ini cuma ada dua loket yang melayani, jadi tetap saja lama. Hampir 90 menit saya menunggu nomor antrean saya dipanggil. Di depan petugasnya, saya serahkan fotokopi surat rujukan dan nomor antreannya.

Setelah menyebutkan ke poly yang saya tuju, saya diminta menunggu, akan dicekkan terlebih dulu apakah quotanya masih ada atau tidak. Dan ternyata quota pada hari ini sudah habis. Saya meminta mengecek kembali, di minggu ini ada lagi untuk hari apa? Setelah utak-atik komputer untuk beberapa saat, petugasnya bilang bahwa ada lagi tanggal 20. Saya cerna omongannya, dan sadar, bahwa tanggal 20 itu masih dua minggu lagi. Iseng saya tanya apakah kalau umum (tidak menggunakan BPJS) masih bisa? Iseng karna beberapa kali saya ke RS ini tanpa BPJS, tak pernah sekalipun petugas membicarakan tentang quota. Awalnya si petugasnya bilang, kalau setiap hari memang ada quotanya (baik menggunakan BPJS atau umum) tapi akhirnya jujur juga bahwa RS membatasi quota BPJS.

Saya tak bisa membayangkan jika sakitnya memang butuh pengobatan dengan segera. Dua minggu bukan waktu yang baik untuk menahan sakit, Sodara.
Akhirnya saya beranjak dari kursi dan terpaksa merelakan hampir 2 jam kesia-siaan itu untuk menuju ke tempat kerja.

Sehat sehat, Nak. (5 Maret 2019)